Mohon tunggu...
Ade Ramdan Gumelar
Ade Ramdan Gumelar Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Epidemiolog Kesehatan

Cogitationis poenam nemo patitur

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pernikahan: Sebuah Prespektif Trigakomedi Filosofis

2 Oktober 2024   06:21 Diperbarui: 2 Oktober 2024   06:24 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menikah. A simple word, yet complicated. Kata yang sering muncul dalam percakapan keluarga dan teman, seperti rutinitas. Tapi ketika waktunya benar-benar datang, semuanya jadi terasa lebih… absurd. Pernikahan, pada intinya, adalah sebuah kontrak sosial. Saya, seorang pria biasa yang hidup dalam dunia pragmatis, akan segera menikah dengan Shindi, seorang wanita yang bekerja sebagai tenaga sanitasi lingkungan. Dia membersihkan dunia, sementara saya membersihkan laptop. A perfect match, isn’t it?

Kalau orang-orang seperti Nietzsche bilang hidup adalah penderitaan, mungkin dia tidak pernah harus berurusan dengan proses lamaran pernikahan, undangan, dan terutama, menghadapi birokrasi di Disdukcapil dan KUA. Tapi, saya bukan Nietzsche, saya cuma seseorang yang mencoba tidak terlihat terlalu bingung saat merencanakan masa depan dengan Shindi.

Saya dan Shindi? We’re quite the contrast. Shindi, dengan segala kesibukan di Puskesmas dan kuliahnya, selalu tampak tenang menghadapi hal-hal yang menurut saya luar biasa repot. Misalnya, dia bisa berbicara tentang bagaimana dia mengawasi air bersih, pengelolaan sampah, dan sanitasi lingkungan dengan semangat yang saya sendiri kadang tidak bisa pahami. Sementara itu, saya, dengan segala keluhan hidup sehari-hari, merasa sudah cukup puas jika berhasil memasak mie instan tanpa gagal.

Sartre mungkin benar bahwa “existence precedes essence.” Di dunia Shindi, “existensi”-nya sebagai petugas sanitasi lingkungan di Puskesmas membuat saya berpikir, apakah essence saya sebagai calon suaminya cukup? Saya, yang hidup dalam kenyamanan Wi-Fi cepat dan makanan delivery, selalu berpikir tentang bagaimana dia mampu menjalani hidup jauh di Tomo tanpa mengeluh sedikit pun.

Tapi di sisi lain, itulah kenapa saya jatuh cinta padanya. Di balik kerasnya kehidupan, Shindi punya pandangan hidup yang begitu sederhana namun dalam. Baginya, pernikahan bukanlah soal mewah atau besar-besaran. "Yang penting, kita happy," katanya. “Simple.” Tapi dalam kata-kata "simple" itu, tersimpan kebijaksanaan yang membuat saya merasa seperti filsuf kelas bawah di hadapannya.

Shindi punya filosofi hidup yang sederhana, tapi benar-benar bikin saya mikir. Dia bilang, "Nikah itu kayak sanitasi lingkungan. Nggak ada yang nyadar kalau semuanya beres, tapi kalau ada yang salah, semua orang ribut."

Itu hal yang benar-benar bikin saya ketawa pertama kali dia ngomong. But then, saya mulai berpikir. Benar juga, ya. Menikah mungkin memang seperti sistem sanitasi. Kita nggak bisa melihat semua masalahnya di permukaan. Butuh perhatian konstan, effort yang berkelanjutan, dan jika kita tidak merawatnya, seluruh sistem bisa collapse. Hegel pasti setuju bahwa pernikahan adalah dialektika yang terus-menerus: tesis (rencana awal menikah bahagia), antitesis (realitas pernikahan yang nggak seindah impian), dan akhirnya sintesis (kompromi yang nggak pernah ada habisnya).

Shindi memandang dunia pernikahan seperti dia memandang pekerjaannya di sanitasi lingkungan. Ada struktur, ada keseimbangan, dan semuanya butuh perhatian konstan. Dia bilang, “Nggak perlu semuanya sempurna, tapi yang penting kita tahu cara ngatur semuanya biar nggak kacau.”

Sartre pernah bilang, "Hell is other people." Saya rasa dia nggak pernah coba urus dokumen dari Disdukcapil, desa atau kelurhan sampai ke KUA. Begitu kami memutuskan untuk menikah, dimulailah drama yang sebenarnya. Bukan cuma urusan keluarga, tapi juga birokrasi yang membuat saya merasa seperti sedang menjalani salah satu ujian eksistensial ala Kafka.

Shindi, dengan ketenangannya, bisa tertawa saat kami menghabiskan berjam-jam menunggu di kantor kelurahan hanya untuk mendapatkan satu tanda tangan. "Ini baru pemanasan," katanya sambil tersenyum. Saya di sebelahnya sudah hampir gila karena merasa birokrasi ini tidak ada habisnya. Nietzsche mungkin pernah bilang bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup, tapi saya rasa dia belum pernah berurusan dengan sistem administrasi pernikahan.

Shindi tenang. Saya panik. Dia bilang, “Kalau kamu bisa lewatin ini, menikah akan jadi hal kecil.” Saya tidak tahu apakah itu kalimat motivasi atau ancaman halus, tapi yang jelas, saya mulai merasa hidup ini memang absurd—dan menikah adalah salah satu absurditas terbesar yang pernah saya hadapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun