Sore tadi kedatangan tamu istimewa, teman main ketika tinggal di Jakarta. Berkunjung ke rumah alasannya karena sekalian mudik ke rumah mertuanya. Tapi saya tidak begitu percaya dengan alasan itu. Â Saya kembali tanyakan kenapa tiba-tiba datang bertamu. Sambil tertawa dia bilang emang tidak boleh datang ke sini. Kita ingat-ingat lagi masa-masa jalan kaki dari Bangka ke Radio Dalam terus ke Blok M. "Itu tak perlu dikenang, jadi apa? (bertanya kedatangan)" jawab saya.
Akhirnya dia cerita yang sesungguhnya. Dia bertengkar dengan istrinya gara-gara dia berqurban lewat lembaga. Sedangkan di rumah mertuanya semua orang patungan untuk beli sapi hanya dia dan istrinya yang tidak ikut patungan. Keadaan ini membuatnya agak dikucilkan.
Saya : "Dikucilkan? Lah itu perasaanmu saja"
Teman : "Serius ini bukan hanya perasaan, orang ini sampe bertengkar dengan istri. Apalagi saya bilang ke istri supaya tidak bilang apapun ke keluarganya kalau dia sebenarnya berqurban hanya saja lewat lembaga."
Saya : "Ya udah itu konsekuensi dari ikhlas, apa yang menimpamu itu bagian dari yuwaswisu. Kita kadang masih tahan untuk tidak memberi tahu tangan kiri. Tapi yang paling berat itu ketika kita sedang dikucilkan dan direndahkan tapi itulah tahapan ujian selanjutnya. Karena kamu sudah lulus pada tahap tidak memberi tahu tangan kirimu setelah memberi (berqurban atau berbuat baik atau sedekah) maka ujian selanjutnya itu adalah dikucilkan dan direndahkan"
Katanya Cak Nun "Ikhlas tingkatan tertinggi dari ilmu dia tidak terdapat di universitas manapun. Dia hanya terdapat di universitas kehidupan. Kalau kamu bilang saya ikhlas maka kamu tidak ikhlas  tapi kalau kamu diam maka orang akan akan memperlakukanmu sebagai oramg yang tidak ikhlas"
Saya : "Ini hanya masalah angle, sekarang angle mana yang akan kamu pilih. Kalau anglenya manusia maka bilanglah ke mertuamu kalau kamu berqurban tapi kalau angle Tuhan diam lebih baik"
Teman : "Ya Cak Nun benar. Tahun kemarin adalah idul adha pertama saya di rumah mertua, semua warga tahu jika mertua saya setiap tahun selalu berqurban. Meski hati berusaha untuk husnuzon bahwa mertua saya orang mampu dia sudah terbiasa berqurban tapi tetap saja ada bisikan kalau ini cenderung mengumpulkan pundi-pundi pujian warga. Sedangkan saya adalah orang yang belum mapan, belum terbiasa berqurban dan berqurban adalah hal yang istimewa jadi untuk ke hati-hatian saya pilih lewat lembaga."
Saya : "Heuheu kenapa mereka suka upload-uplod di story WA?"
Teman : "Salah satunya hahaha, termasuk istri saya"
Saya : "Ya berhusnuzonlah pada mertuamu, barangkali dia sudah berada pada level Ustad Yusuf Mansur, suatu hari dia memberikan ceramah di kampus saya kemudian selesai ceramah UYM langsung pulang, namun dicegat oleh salah satu pejabat kampus. Mereka salaman di tengah kerumunan asisten UYM yang mengamankan jalan dan mahasiswa yang hendak bersalaman dan berfoto. Dalam salamannya pejabat kampus tersebut memberikan amplop yang cukup tebal. UYM kemudian menolaknya dan bilang ini buat mesjid kampus saya. Saya pikir UYM sudah berada pada level yang berbeda walaupun dia berbuat kebaikan di tengah kerumunan orang. Dia telah terbiasa memberi dan bukan sesuatu yang istimewa. Berbuat baik baginya adalah kebiasaan."
Oh ya kemarin juga ada cerita menarik dari teman kuliah saya. Jadi dia dimintain sumbangan sama sesama alumni kampus. Kebetulan yang minta sumbangannya adalah mantan pacarnya. Saya tahu kalau teman saya ini orangnya baik kalau urusan uang. Tapi dia bingung kalau dia nyumbang dalam hati ini masih ada rasa ingin pujian, ingin dibilang udah sukses dan lain-lain, apalagi yang mintanya mantan pacar. Keputusannya dia lebih baik tidak nyumbang. Alasannya lebih baik dia dikatakan pelit dari pada ngasih uang 500.000 tapi tidak dapat amalan apapun.
Terima kasih sudah membaca dan semoga bermanfaat. Salam hangat buat yang lagi berkumpul bersama keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H