Desentralisasi sistem pemerintahan seperti dijelaskan Undang-Undang No. 23/2014 tentang Otonomi Daerah, tak hanya diimplementasikan melalui terapan bentuk peralihan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah semata, namun juga diorientasikan pada peralihan sistem keadministrasian yang lebih bersifat otonom bagi pemerintah daerah dalam menentukan dan menyelenggarakan kebijakannya sendiri.[1]
Setangkat akan hal itu, pembangunan desa di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 pun menjadi salah satu agenda pembangunan nasional seperti tertuang dalam nawacita, yakni “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI”. Sebagai tindak lanjut akan hal itu, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai payung hukum dalam pengalokasian stimulus Anggaran Dana Desa (ADD) melalui program pemerintah “1 Desa 1 Milyar” yang didistribusikan di tiap tahunnya.[2]
Sehubungan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ini, diharapkan segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa sepenuhnya dapat terakomodasi lebih baik, pemberian kesempatan lebih besar bagi desa untuk mengurus tata kelola pemerintahannya sendiri, serta terciptanya pemerataan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa, yang mana pada gilirannya kesemuanya itu akan dapat perkecil tingkat kesenjangan antar wilayah, kemiskinan hingga dapat meminimalisir masalah sosial budaya lainnya.[3]
Setali tiga uang dengan pernyataan Riska yang menyebut bahwa kemiskinan merupakan masalah serius yang harus segera dituntaskan pemerintah, terutama masalah kemiskinan di desa. Salah satu cara yang bisa diupayakan oleh pemerintah desa untuk pengentasan kemiskinan ini yaitu dengan melakukan pembangunan desa yang harus ditunjang dengan pendapatan desa yang kuat. Dengan begitu maka pengelolaan aset desa yang baik sangat diperlukan untuk membangun kesejahteraan desa.[4]
Sejak diberlakunya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka segala sesuatu yang ada di desa berkenaan dengan pengaturan keuangan maupun pengelolaan aset desa, telah sepenuhnya beralih menjadi kewenangan dari Pemerintah Desa, bukan lagi pada Pemerintah Kabupaten.
Pasal 1 ayat 2 dan 3 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas menyebut, pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masih dalam kaitan itu, pemerintahan desa juga dikepalai oleh kepala desa dibantu perangkat-perangkat yang lain sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.[5]
Aspek penatausahaan keuangan pemerintahan desa, dalam hal ini terpisah dari tata usaha keuangan pemerintah kabupaten. Jabaran keuangan desa menurut Nurcholis dimaknai sebagai semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa.[6]
Aset desa sendiri menurut Undang-Undang No.6 Tahun 2014 pada Bab I Pasal 1 ayat 11 diterangkan: “Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah”. Lebih lanjut Pasal 72 UU Desa juga menerangkan bahwa sumber-sumber pendapatan desa dapat berasal dari: Anggaran Dana Desa (ADD), Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Retribusi, Hasil Usaha Desa (BUMDes), Hasil Aset Desa, Pendapatan Asli Desa (PADes), Bantuan Keuangan Provinsi dan Bantuan Keuangan Kabupaten/Kota.[7]
Tata usaha kelola sumber keuangan desa yang terhitung besar, maka dibutuhkan aspek pengawasan berikut perencanaan yang matang dalam kaitan pengelolaannya, dan distribusi dana dapat tersalurkan pada pemenuhan tingkat kebutuhan masyarakat desa sebagaimana telah disepakati bersama secara tripartit antara aparat desa, BPD beserta perwakilan masyarakat. Hasil output yang diharapkan tentu desa akan bergerak cepat lebih maju, berdikari, serta mampu berswasembada secara mandiri dengan tak perlu bergantung lagi pada proyek-proyek dari instansi swasta atau sumbangan swadaya dari masyarakat desa. Kriteria desa mandiri tentunya desa yang berdaya dari sisi infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM), yang dibarengi pula dengan terciptanya tingkat produktivitas masyarakat melalui pengembangan potensi lokal yang dimiliki dalam menghasilkan Pendapatan Asli Desa.[8]
Pengelolaan aset desa dalam hal ini menjadi komponen penting dan menjadi modal besar bagi desa dalam menarget segi pendapatannya, agar kas desa tetap bisa bertumbuh secara eksponensial, sehingga program percepatan pembangunan desa dapat bergerak secara eskalatif dan sustainable dari waktu ke waktu. Untuk itulah kebijakan pemerintah desa menjadi penentu dan faktor kunci agar pengelolaan aset desa dapat berlangsung secara optimal, profesional, namun tak keluar dari galur regulasi yang ada.[9]
Aset-aset milik desa seyogianya bisa berupa aset materiil (aset kebendaan yang terlihat secara fisik) maupun non materiil (aset tak berwujud fisik). Ragam aset desa seperti dijelaskan dalam UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 76 ayat 1 dapat berwujud tanah desa, kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, lumbung desa, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa.