Aneka fenomena investasi bodong yang semakin marak belakangan ini di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, merupakan potret buruk ketiadaan perlindungan pemerintah terhadap masyarakat dari praktek-praktek yang berpotensi merugikan keuangan masyarakat. Saat ini pun masih marak di kalangan masyarakat yang sering disamarkan dengan tawaran investasi, mlm, saling membantu, investasi emas, koperasi, sampai yang bermodus agamis. Ciri utamanya tentulah usaha yang berfokus pada pengumpulan uang dengan janji-janji keuntungan nan-fantastis.
Terakhir pemerintah dan otoritas terkait ribut-ribut soal keberadaan MMM. Apalagi kehadiran iklan MMM di media massa nasional semakin menjadi tamparan bagi pemerintah, betapa bodohnya kita di depan jaringan ponzi (arisan berantai) itu. Meski MMM nyata-nyata pernah ambruk dan membuat banyak membernya tak memperoleh kembali janji dana yang telah disetor, dikritik oleh berbagai pihak, tetapi MMM tetap semangat tanpa kuatir dengan aparat dan hukum.
Mengapa?
Jawabannya adalah karena hukum Indonesia belum bisa mencegah munculnya potensi penipuan bagi masyarakat. Hukum kita belum bisa serta merta menghentikan MMM dan bisnis semacamnya.
Terkait kehadiran investasi bodong, biasanya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan menyampaikan bahwa investasi tersebut bukanlah objek yang diawasi oleh OJK. Ternyata OJK hanya mengawasi lembaga keuangan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank. Walaupun ada aturan yang mengharuskan bahwa pengumpulan dana masyarakat harus seizin OJK, dalam hal ini pun OJK ternyata belum berkuasa. Dalam kasus MMM (dan sejumlah skema cepat kaya lainnya) mereka berkelit bahwa mereka tidak menghimpun dana. Dana ditransfer dari anggota ke anggota.
Jadi bila saat ini ada penipu yang gentayangan dengan aneka modusnya mengeruk dana masyarakat, bisa dipastikan bahwa mereka akan aman-aman saja. Toh, mereka bukan lembaga keuangan alias gak wajib diawasi. Jadi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan para penasehat keuangan yang berkoar-koar meminta MMM ditutup dan sebagainya, pun takkan ada guna. Semua angkat tangan.
Memang ada lubang besar yang disisakan pemerintah. Ruang yang dengan enak dimanfaatkan berbagai pihak untuk mengeruk keuntungan tanpa perlu kuatir.
Lalu bagaimana dengan penegakan hukum?
Hukum kita tidak mampu maksimal (kalau tidak mau disebut ketinggalan zaman) untuk mencegah timbulnya penipuan semacam ini. Jika kemudian timbul kerugian, belum tentu aparat mengambil langkah-langkah hukum, bila korban tidak melapor dengan membawa saksi dan segala kerumitan persyaratan hukum. Tidak heran bila didunia kejahatan yang kerap melibatkan intimidasi premanisme bahkan keterlibatan aparat ini, upaya-upaya penegakan hukum kerap hanya menjadi pilihan terakhir.
Kalaupun ada yang dilaporkan, penyelesaiannnya pun jauh dari manfaat yang diharapkan. Ratusan kasus penipuan serupa dalam aneka modus telah berulang kali terjadi dan menelan korban tidak sedikit dengan dana triliunan rupiah. Berapa banyak yang berhasil diungkap? Adakah dana atau kerugian masyarakat yang berhasil dikembalikan?
Tidak sedikit pula pelaku kejahatan ini yang dihukum ringan, atau bahkan masih bebas. Apakah karena merekalah yang menguasai dana yang demikian besar? Publiklah yang layak menilai. Tidak perlu berpanjang lebar, dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum dalam kasus-kasus penipuan keuangan masyarakat, belumlah sepenuhnya berpihak kepada masyarakat (korban).