Mohon tunggu...
Adeltus Lolok
Adeltus Lolok Mohon Tunggu... PNS -

Pendiri http://howmoneyindonesia.com. Berkarya sebagai aparat dan pelayan masyarakat; pecinta alam, seni, dan keunikan manusia. Senang menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Pemerintah tak Mampu Berantas Bisnis & Investasi Bodong?

13 Juli 2015   21:48 Diperbarui: 13 Juli 2015   22:11 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aneka fenomena investasi bodong yang semakin marak belakangan ini di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, merupakan potret buruk ketiadaan perlindungan pemerintah terhadap masyarakat dari praktek-praktek yang berpotensi merugikan keuangan masyarakat. Saat ini pun masih marak di kalangan masyarakat yang sering disamarkan dengan tawaran investasi, mlm, saling membantu, investasi emas, koperasi, sampai yang bermodus agamis. Ciri utamanya tentulah usaha yang berfokus pada pengumpulan uang dengan janji-janji keuntungan nan-fantastis.

Terakhir pemerintah dan otoritas terkait ribut-ribut soal keberadaan MMM. Apalagi kehadiran iklan MMM di media massa nasional semakin menjadi tamparan bagi pemerintah, betapa bodohnya kita di depan jaringan ponzi (arisan berantai) itu. Meski MMM nyata-nyata pernah ambruk dan membuat banyak membernya tak memperoleh kembali janji dana yang telah disetor, dikritik oleh berbagai pihak, tetapi MMM tetap semangat tanpa kuatir dengan aparat dan hukum.

Mengapa?

Jawabannya adalah karena hukum Indonesia belum bisa mencegah munculnya potensi penipuan bagi masyarakat. Hukum kita belum bisa serta merta menghentikan MMM dan bisnis semacamnya.

Terkait kehadiran investasi bodong, biasanya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan menyampaikan bahwa investasi tersebut bukanlah objek yang diawasi oleh OJK. Ternyata OJK hanya mengawasi lembaga keuangan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank. Walaupun ada aturan yang mengharuskan bahwa pengumpulan dana masyarakat harus seizin OJK, dalam hal ini pun OJK ternyata belum berkuasa. Dalam kasus MMM (dan sejumlah skema cepat kaya lainnya) mereka berkelit bahwa mereka tidak menghimpun dana. Dana ditransfer dari anggota ke anggota.

Jadi bila saat ini ada penipu yang gentayangan dengan aneka modusnya mengeruk dana masyarakat, bisa dipastikan bahwa mereka akan aman-aman saja. Toh, mereka bukan lembaga keuangan alias gak wajib diawasi. Jadi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan para penasehat keuangan yang berkoar-koar meminta MMM ditutup dan sebagainya, pun takkan ada guna. Semua angkat tangan.

Memang ada lubang besar yang disisakan pemerintah. Ruang yang dengan enak dimanfaatkan berbagai pihak untuk mengeruk keuntungan tanpa perlu kuatir.

Lalu bagaimana dengan penegakan hukum?

Hukum kita tidak mampu maksimal (kalau tidak mau disebut ketinggalan zaman) untuk mencegah timbulnya penipuan semacam ini. Jika kemudian timbul kerugian, belum tentu aparat mengambil langkah-langkah hukum, bila korban tidak melapor dengan membawa saksi dan segala kerumitan persyaratan hukum. Tidak heran bila didunia kejahatan yang kerap melibatkan intimidasi premanisme bahkan keterlibatan aparat ini, upaya-upaya penegakan hukum kerap hanya menjadi pilihan terakhir.

Kalaupun ada yang dilaporkan, penyelesaiannnya pun jauh dari manfaat yang diharapkan. Ratusan kasus penipuan serupa dalam aneka modus telah berulang kali terjadi dan menelan korban tidak sedikit dengan dana triliunan rupiah. Berapa banyak yang berhasil diungkap? Adakah dana atau kerugian masyarakat yang berhasil dikembalikan?

Tidak sedikit pula pelaku kejahatan ini yang dihukum ringan, atau bahkan masih bebas. Apakah karena merekalah yang menguasai dana yang demikian besar? Publiklah yang layak menilai. Tidak perlu berpanjang lebar, dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum dalam kasus-kasus penipuan keuangan masyarakat, belumlah sepenuhnya berpihak kepada masyarakat (korban).

Dari sisi pencegahan, meski telah ada instansi-instansi pemerintah, aparat hukum, Satgas Penipuan Investasi, serta “lembaga sensor” website di Kemenkominfo sepertinya juga tidak terlalu berdaya mencegah suburnya jamur pelaku penipuan. Ketidakjelasan tanggung-jawab dan defenisi (potensi) penipuan bisa menjadi alasan utama.

Sisi pengetahuan instansi pengawas bisa juga menjadi salah satu faktor pemicu. Maklum modus yang digunakan (calon) penipu juga semakin halus dalam balutan aneka tawaran bisnis/investasi, canggih sesuai kemajuan IT, perhitungan rumit, samaran seolah bisnis legal dan sebagainya. Instansi pemerintah pun gagap tak mengerti dan saling lempar tanggung-jawab, sementara korban terus berjatuhan sampai ke desa-desa. Pun UU Perdagangan yang sebetulnya sudah memuat aturan soal pyramid scheme juga belum terdengar tajinya ditengah ramainya perdagangan produk yang sesungguhnya berpotensi pyramid scheme. UU Perdagangan pun tidak bisa digunakan untuk pelaku ponzi, karena pyramid scheme dan ponzi adalah dua skema money game berbeda.

Kondisi darurat penipuan ini makin diperparah dengan kemajuan sistim transaksi elektronik yang memudahkan transaksi perorangan antar negara dalam hitungan detik, modus-modus penipuan adalah bom waktu yang mengancam rencana besar pembangunan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Korbannya tak pandang bulu. Mulai dari yang tak berilmu sampai, selebriti, pengusaha, bahkan pejabat.

Apa yang harus dilakukan? Sampai kapan pembodohan ini berlangsung?

Negara yang kuat seharusnya mampu juga mencerdaskan dan melindungi rakyatnya. Pemerintah sebaiknya segera belajar dari negara-negara maju bagaimana MENCEGAH kerugian masyarakat akibat perilaku jaringan penipuan. Salah satu yang harus dilakukan adalah segera merumuskan apakah pyramid scheme (ponzi), arisan berantai dan semacamnya dilarang, sebagaimana telah diterapkan di negara maju.

Di Amerika, pyramid scheme/ponzi ataupun arisan berantai disadari benar sangat berbahaya bagi masyarakat dan negara. Karena itu, usaha-usaha berbasis moneygame seperti pyramid scheme,a risan berantai dan sejenisnya dengan tegas dilarang. SEC (Security and Exchange Commission) semacam OJK-nya Amerika bahkan memiliki Satgas khusus memberantas penipuan-penipuan arisan berantai termasuk yang bermodus MLM ataupun tawaran bisnis investasi lainnya, sebelum terlanjur menyebar. Aturan dan defenisinya jelas. Kalaupun kemudian terlanjur jatuh korban, pemerintah akan membekukan asset pelaku penipuan (termasuk yang di luar negeri), menghitung kerugian korban, dan mengembalikannya sebisa mungkin.

Di Australia, selain penegakan hukum yang jelas, sejumlah inisiatif juga digalakkan pemerintah untuk mencegah rakyatnya menjadi korban penipuan, baik di dunia online maupun di dunia nyata. Sejumlah otoritas dan institusi pemerintah bahu membahu menyadarkan rakyat sekaligus memberantas bahaya bisnis dan investasi bodong. Sejumlah website khusus dibuat, aneka program moneysmart juga gencar mengedukasi masyarakat, lembaga perbankan rutin menggalakkan kampanye-kampanye nasional untuk tujuan serupa bekerja sama dengan kampus dan sekolah-sekolah, dan seterusnya.

Upaya melindungi masyarakat Indonesia harus dimulai dengan penataan aturan hukum yang  memiliki daya cegah dan bukannya bersifat pemadam kebakaran yang menyisakan bara. Bukankah sudah terbukti bahwa sosialisasi semata tidak efektif? Pemerintah harus berani mencegah dan memotong rantai penipuan sebelum tumbuh berkembang. 

Jadi, jika saat ini sejumlah bisnis dan investasi bodong masih marak bahkan percaya diri beriklan meriah, Anda sudah tahu penyebabnya. Semoga pemerintah dan institusi terkait segera berbenah dan percaya diri menangani masalah darurat ini.

(Versi asli tulisan ini telah dimuat di harian ekonomi KONTAN edisi cetak tanggal 11 April 2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun