Mohon tunggu...
Adella Fiahsani
Adella Fiahsani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Mahasiswa Universitas Airlangga S1 Studi Kejepangan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Hikikomori di Jepang

21 Mei 2023   14:32 Diperbarui: 21 Mei 2023   14:43 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata hikikomori mungkin masih asing di telinga orang Indonesia. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1990-an di Jepang, ditujukan kepada individu yang mengisolasi diri secara esktrem. Mereka menghabiskan waktunya dengan bermain games, membaca komik, menonton anime, dan lain-lain sehingga tidak keluar rumah dalam jangka waktu yang cukup lama sekitar 6 bulan atau bahkan lebih. Terkadang, pelaku hikikomori hanya keluar rumah untuk membeli kebutuhan itupun dilakukan di malam hari untuk menghindari keramaian serta interaksi dengan orang lain.

Pada suatu kasus, pelaku hikikomori mengandalkan teknologi seperti delivery food untuk memesan makanan atau membeli kebutuhan sehari-hari sehingga mereka tidak perlu keluar rumah. Ketika berada di rumah atau di dalam kamar, pelaku hikikomori menyebabkan kehidupan pada umumnya menjadi terbalik. Mereka cenderung beraktivitas di malam hari dan tidur di pagi hari. Terdapat alasan dibalik kehidupan pelaku hikikomori yang terbalik ini diantaranya untuk menghindari kontak sosial dengan orang lain dan menghindari perasaan rendah diri ketika berada ditengah keramaian.

Terdapat ciri-ciri dari hikikomori, yaitu:

Seseorang dengan gaya hidup yang terblaik seperti saat pagi tidur dan malamnya beraktivitas

Tidak memiliki ketertarikan atau bahkan takut untuk berinteraksi dengan orang lain

Mengurung diri setidaknya selama enam bulan atau lebih lama lagi

Tidak memiliki relasi dengan orang lain

Penyebab dari fenomena ini sendiri belum pasti karena tiap individu memiliki faktor penyebab yang berbeda. Namun, tidak sedikit orang yang menganggap hikikomori sebagai penyakit kesehatan jiwa walaupun sebenarnya hikikomori tidak tercantum dalam The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders dari Asosiasi Psikiater Amerika. Hikikomori lebih berpusat ke masalah sosial.

Umumnya hikikomori disebabkan karena mengalami tekanan sosial yang cukup berat sehingga  mereka menjadi trauma hingga depresi dan memilih untuk mengurung diri di rumah. Sebagai contoh jika di sekolah, siswa yang dibully baik secara lisan ataupun fisik menyebabkan mentalnya terguncang sehingga menolak untuk berangkat ke sekolah dalam waktu yang lama dan memilih menjauh dari masyarakat.

Hal lain yang menjadi salah satu penyebab hikikomori adalah tekanan dari keluarga yang menuntut prestasi atau sukses berkarir di dunia kerja. Bukan rahasia lagi kalau di Jepang persaingan prestasi di sekolah maupun dunia kerja sangat berat sehingga jika mengalami kegagalan pasti akan berdampak kepada kondisi mental. Mereka memilih untuk mengisolasi diri serta menolak untuk betemu dengan siapapun atau lebih buruknya melalukan bunuh diri.

Selain itu, hal lain seperti tingginya kompetisi dalam lingkup masyarakat Jepang yang memiliki sifat individualis dan terlihat tanpa emosi menyebabkan kecenderungan sulit mengekspresikan diri secara langsung sehingga tak jarang pelaku hikikomori melampiaskan emosi dan perasaannya lewat teknologi seperti games dan lain-lain.

Solusi yang disarankan oleh pemerintahan Jepang untuk mengatasi fenomena hikikomori ini melalui 4 tahap seperti memberi dukungan kepada keluarga serta berupaya melakukan kontak awal dengan individu yang mulai menunjukkan hikikomori. Bisa juga memberi dukungan dan menyarankan untuk melakukan terapis juga sebisa mungkin mengajak mereka untuk melakukan kegiatan sosial. Diharapkan tahapan ini setidaknya dapat menghilangkan rasa kesepian dan berupaya menimbulkan rasa nyaman kepada diri pelaku hikikomori.

Referensi :

(Ii et al., 2013Ii, B. A. B., Psikologis, D., Pada, H., Remaja, K., & Jepang, D. I. (2013). Bab ii dampak psikologis.

(Putri Isyana, 2018)Putri Isyana, F. (2018). Hikikomori: Senang Menyendiri, Penyakit atau Bukan? Detikhealth. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3864406/hikikomori-senang-menyendiri-penyakit-atau-bukan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun