Mohon tunggu...
Adelia Novarin
Adelia Novarin Mohon Tunggu... Editor - Editor

Mencintai Kehidupan Dari Lekukan Pena yang Menghasilkan Cerita dan Cinta

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Peran Perempuan sebagai Delegasi Internasional, Menjadi Agen Perdamaian

8 Oktober 2021   11:00 Diperbarui: 8 Oktober 2021   11:08 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: tempo.co

Para perempuan mulai mampu unjuk gigi sebagai delegasi dalam konferensi-konferensi internasional. Hal ini membuktikan perempuan mampu menjadi agen yang berperan aktif sebagai negosiator ulung, bahkan juru damai dalam konflik antar-kelompok maupun antar-negara.

Peran kaum hawa dalam menegakkan perdamaian dan keamanan dunia pernah juga disinggung oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Menurutnya, perempuan memiliki kelebihan, yakni insting keibuan yang secara alami dapat menciptakan perdamaian dengan cinta, kepedulian serta harmoni.

 

Berbekal modal itu sebenarnya perempuan memiliki potensi yang sangat berharga untuk berkontribusi lebih banyak lagi dalam menegakkan perdamaian dan keamanan dunia.

 

Di satu sisi, perempuan dan anak-anak kerap terlibat konflik dan menjadi kelompok yang paling terdampak. Namun dalam waktu bersamaan, kata Retno, perempuan juga bisa berperan signifikan dan secara konstruktif dalam menciptakan perdamaian

Dia juga menambahkan, perempuan merupakan agen yang menjaga kedamaian dan toleransi. Pasalnya, dua hal ini dimulai dari rumah. Oleh karenanya, perempuan bisa menjadi pertahanan pertama untuk melawan ekstrimisme dan radikalisme.

Sayangnya, peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan dunia masih minim. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2018 menunjukkan baru sekitar 8% perempuan yang menjadi juru runding dan 2% yang jadi mediator di PBB. Padahal, perempuan juga memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan laki-laki dalam menghadapi konflik.

Contoh nyata peran tersebut dibuktikan oleh Suster M. Brigitta Renyaan. Dalam sebuah pelatihan bersama Kemenlu tahun 2018, perempuan asal Kei, Maluku, ini menceritakan konflik keagamaan di Ambon tahun 1999.

Kala itu, Brigitta dan beberapa perempuan lain berusaha meredakan konflik tersebut dengan melakukan pendekatan kepada orang yang terlibat. Para perempuan memilih tetap berada di sana dan membuat pelatihan-pelatihan kepada anak-anak, melakukan transformasi perdamaian dari generasi baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun