Seiring dengan pertambahan umur saya, saya semakin menyadari bahwa ada bermacam-macam tipikal manusia-manusia yang hidup berbaur dengan saya. Ada yang baik, sangat baik, hingga yang tidak baik. Manusia-manusia itu pun memiliki kebiasaan mereka masing-masing, dan saya memahami kebiasaan itu.
Saya juga tahu, mengubah kebiasaan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika kebiasaan itu sudah lekat pada diri kita sejak kecil. Wah, perlu usaha yang ekstra untuk bisa mengubah kebiasaan itu.
Akan tetapi di antara semua kebiasaan yang menurut saya, "okelah, gak apa-apa kalau dia begitu." Ada satu kebiasaan yang membuat saya gemas, yakni kebiasaan untuk mengucap, "Sorry, ya. Lagian kamu, 'kan udah tahu, aku anaknya emang gitu!"Â
Lantas? Tak wajarkah saya jika ingin orang tersebut perlahan mengubah kebiasaan itu? Lebih-lebih, seringnya saya menemukan hal tersebut berkonotasi negatif.Â
Sebagai contoh, ketika sedang mengobrol saat berada di satu tempat yang ramai pengunjung, ada satu teman yang tertawa terbahak-bahak hingga atensi pengunjung lain tertuju pada kami, lalu saya menegurnya, "Eh, ketawanya jangan keras-keras, dong. Diliatin tuh, sama yang lain." Lalu dibalas, "Yah, kan ketawaku emang gini!" dan lanjut tertawa keras seolah teguran yang tadi hanyalah angin lalu yang tak penting keberadaannya.Â
Wah, serius. Saya merasa sangat gemas.Â
Begini, wajar sekali jika kita memiliki kebiasaan. Namun kita juga perlu tahu bahwa tak semua kebiasaan yang kita miliki adalah kebiasaan yang baik. Termasuk tertawa terbahak-bahak hingga mengganggu pengunjung yang lain, jelas sekali bahwa itu bukanlah hal yang baik.Â
Selain itu, ada juga kebiasaan lain seperti jarang membalas pesan, atau membalasnya dengan selang waktu yang lama dari saat pengirim mengirim pesannya, atau yang kini sering disebut dengan slow response.
Saya tahu, ada banyak faktor yang memengaruhi munculnya kebiasaan itu. Mulai dari kesibukan diri sendiri, hingga keadaan kesehatan baik fisik atau mental yang memang sedang terganggu. Kita bisa saja meminta orang lain untuk memahami bahwa kita sedang sakit, akan tetapi, tak selamanya kita bisa memaksa orang-orang untuk terus memahami hal itu.Â
Wajar juga jika kita merasa tak memiliki energi untuk sekadar membalas pesan, tapi tidak selamanya hal tersebut harus diwajarkan dan dimaklumi.
Berkaitan dengan hal itu, saya memiliki satu pertanyaan yang sering mengganggu saya, yakni apakah kita harus selalu memaklumi perilakunya yang seperti itu? Saya rasa tidak.Â
Akan ada waktu di mana si pelaku juga harus bisa memahami orang lain, memahami hal yang berkaitan dengan si pengirim pesan hingga dia harus membalas pesan itu dengan cepat. Akan ada waktu di mana si yang meminta dipahami harus mau memahami orang lain.
"Kamu kalau bales chat lama, ya?"
"Oh, aku anaknya memang begitu. Maklumin aja."
Jika saya disuruh untuk mencari makna dari kalimat "aku anaknya memang begitu" saya akan dengan senang hati mengatakan bahwa, dia ingin semua orang memahaminya namun dia tak sudi untuk memahami orang lain.Â
Mungkin di beberapa aspek, perihal balas membalas pesan hanyalah hal remeh yang tak perlu dibesar-besarkan. Tetapi kita juga tidak boleh lupa, bahwa setiap orang memiliki kesibukannya masing-masing.
Bisa saja waktu yang mereka miliki untuk berbincang-bincang secara daring dengan gawai masing-masing hanya sebentar, dan yang paling parah, kita tak akan tahu apakah kita masih diberi kesempatan untuk membalas pesan tersebut di lain kali.
Efek dari tak mau mengubah kebiasaan dan justru meminta orang lain untuk memahami kebiasaan itu cukup banyak. Orang-orang mungkin akan berpikir bahwa kita menyebalkan, kita egois, kita kekanakan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, setiap kebiasaan buruk harus mulai diubah sedini mungkin.Â
Toh, tidak selamanya kita bisa menyuruh orang lain untuk memahami apa yang ada pada kita. Tak selamanya kita bisa berekspektasi bahwa dunia akan terus memahami seluruh keinginan kita. Pada kenyataannya, dunia tak berlaku seperti itu.
Banyak sekali orang yang mengatakan kalimat semacam; jika kamu ingin dihargai, maka silakan kamu menghargai orang lain juga. Dalam artian, jika kita ingin orang lain memahami segala hal yang ada pada kita, kita juga harus mau memahami mereka. Lagi pula, tak ada ruginya bagi kita jika kita mau belajar untuk memahami orang lain.
Entah itu perasaan mereka, kebiasaan mereka, hal-hal yang mereka suka dan tidak suka, dan sebagainya. Namun perlu dicatat pula, tak ada salahnya bagi kita untuk meminta dipahami oleh orang lain. Selama dipahami dan memahami dilakukan secara seimbang, seharusnya tidak akan ada masalah atau hal buruk yang terjadi.
Sehingga, bagi saya sendiri, kebiasaan untuk mengucap; "Aku anaknya emang gitu,". Harus mulai diubah, mau tak mau. Tidak perlu menunggu tahun depan, bulan depan, ataupun hari esok. Jika kita menemukan satu saja kebiasaan buruk yang ada pada diri kita, usahakan untuk memulai mengubahnya. Toh nantinya hal tersebut akan kembali pada kita. Orang-orang bisa saja memiliki penilaian lebih pada kita.
Untuk mengubah kebiasaan itu, tak perlu buru-buru. Lagi pula, tak ada kebiasaan yang bisa berubah secara instan. Seperti kata pepatah, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Begitu juga dengan konsep berubah menjadi manusia yang lebih baik. Kita dapat memulainya dari kebiasaan-kebiasaan kecil, seperti mulai membalas pesan dengan cepat--saat kita pertama membaca pesan tersebut, contohnya.Â
Lama-kelamaan, akan ada sebuah perubahan besar yang ada pada diri kita. Saya tidak memaksa semua orang untuk mengubah seluruh kebiasaan mereka, saya hanya ingin orang-orang belajar untuk memahami orang lain selagi dia ingin orang lain memahaminya juga.Â
Kira-kira begitu, adakalanya kita memang harus mempertahankan kebiasaan yang kita miliki, tetapi ada saatnya juga kita harus mengubah kebiasaan buruk yang kita punya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H