Mohon tunggu...
Adelia TriEka
Adelia TriEka Mohon Tunggu... Freelancer - Pengelana

Amuk itu adalah Angkara dungu yang gemar memangsa hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mutiara di Antara Tumpukan Sampah

5 Februari 2020   16:41 Diperbarui: 5 Februari 2020   16:42 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia adalah seorang ibu dari beberapa ibu yang aku kenal di dunia ini. Wajahnya sederhana, namun jiwanya tidak sederhana, apalagi ketika melihat dunia. Dia adalah sosok seorang ibu yang tidak memiliki pendidikan tinggi namun berwawasan cukup untuk kategori seorang wanita. Cara berpikirnya tidak sesederhana yang aku bayangkan selama ini. Ada banyak isyarat-isyarat hidup yang membawaku untuk melukiskan wajahnya dalam tulisan kali ini. 

Aku ingat betul apa yang dikatakannya waktu itu, pada saat mataku mengalami kebutaan sementara, karena sebuah kenyataan pahit, yang mengatakan bahwa mataku harus menjadi buta untuk sementara waktu.

"Hidup itu adalah bagaimana kita mengindahkan apa yang sudah seharusnya indah. Melihat dunia tidak hanya dari satu sisi, namun lihatlah kepada empat arah mata angin, kemudian temukan penawaran hidup yang sesungguhnya ada di antara keempat arah mata angin tersebut."

Pernah satu kali aku terjatuh dan begitu terpuruk sekali. Bahkan untuk melihat dunia saja aku tidak akan pernah sanggup. Namun dia memberikan banyak petuah dan sebuah jalan, untuk membuat pintu lain terbuka dan menciptakan hal-hal baru yang bahkan tidak pernah kupikirkan pada awalnya.

"Nak, cobalah untuk melukiskan sesuatu dalam kanvas ini."

Aku buta dah tidak bisa melihat. Namun dia memberikan aku sebuah kanvas. Bagiku ini adalah hari sial karena bertemu dengannya. Segala kekesalan kutumpahkan dalam kertas kanvas yang membuat hatiku lebih sedih dari apapun juga. 

Namun tiba-tiba Bapak Kepala Seni melihat hasil kekesalan yang kumiliki di secarik kertas tersebut.

"Wah, indahnya! Bisakah aku memilikinya? Bagaimana jika kutukar dengan cincin pernikahanku?"

"Rin, bagaimana menurutmu? Apakah lukisanmu itu bisa ditukar dengan cincin pernikahannya?"

Aku yang buta hanyalah diam. Memandang semuanya gelap, namun pendengaran ini hampir tidak mempercayai kenyataan yang ada saat ini.

"Aku ingin menukar dengan kedua mataku, bisakah?"

Sungguh naif bukan? Namun itu permintaan yang paling kuinginkan. Dan dalam hitungan menit dia berkata, "akan kutukar lukisanmu dengan kedua mata. Akan kukabarkan seminggu kemudian."

Seminggu kemudian mataku kembali bisa melihat segalanya. Dan dari sanalah aku mulai menemukan sosok bidadari dalam diri wanita miskin yang berhati emas itu.

Sebut saja dia Mak Joy. Dia adalah seorang ibu yang banyak sekali memperjuangkan hidup untuk banyaknya anak-anak jalanan yang kekurangan. Padahal dia bukanlah sosok pribadi yang mempunyai banyak uang. Namun dia selalu menyederhanakan hidup dan menyerahkan semua takdir hidupnya di atas ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.

Jika saja dia mempunyai banyak uang, kemungkinan besar ambisinya sudah membuat banyak anak-anak jalanan memperoleh kesempurnaan sebagaimana layaknya manusia bisa diwujudkan dalam hitungan jari saja.

Sudah banyak anak-anak jalanan yang diberikan masukan untuk hidup lebih baik lagi. Mereka pada akhirnya memiliki keinginan untuk menjadi sesuatu bukan seseorang. Mereka banyak diajarkan membaca buku-buku yang ditemukan olehnya dijalanan. Baginya buku adalah gudangnya ilmu yang tidak boleh dilewatkan sama sekali. Sebab dunia semakin maju, namun pemikiran kita tidak boleh semiskin saku di kantong baju kita masing-masing.

Dia adalah wanita yang sederhana, namun jasanya kepada anak-anak jalanan menjadi seperti mutiara yang selalu bersinar tanpa pernah redup samasekali.

Begitulah sedikit cerita tentang sosok yang tidak pernah mau disebutkan namanya, apalagi di agung agungkan sebagai sosok wanita yang paling memikat di seluruh alam. Dia hanya tau bahwa hidup ini hanya sementara, maka dikesementaraannya itu tidak boleh disia-siakan, atau bahkan dijadikan sebuah bahan cerita yang hanya menceritakan kisah kegagalan saja.

Jakarta, 5 February 2020 16:31

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun