Ia adalah seorang ibu dari beberapa ibu yang aku kenal di dunia ini. Wajahnya sederhana, namun jiwanya tidak sederhana, apalagi ketika melihat dunia. Dia adalah sosok seorang ibu yang tidak memiliki pendidikan tinggi namun berwawasan cukup untuk kategori seorang wanita. Cara berpikirnya tidak sesederhana yang aku bayangkan selama ini. Ada banyak isyarat-isyarat hidup yang membawaku untuk melukiskan wajahnya dalam tulisan kali ini.Â
Aku ingat betul apa yang dikatakannya waktu itu, pada saat mataku mengalami kebutaan sementara, karena sebuah kenyataan pahit, yang mengatakan bahwa mataku harus menjadi buta untuk sementara waktu.
"Hidup itu adalah bagaimana kita mengindahkan apa yang sudah seharusnya indah. Melihat dunia tidak hanya dari satu sisi, namun lihatlah kepada empat arah mata angin, kemudian temukan penawaran hidup yang sesungguhnya ada di antara keempat arah mata angin tersebut."
Pernah satu kali aku terjatuh dan begitu terpuruk sekali. Bahkan untuk melihat dunia saja aku tidak akan pernah sanggup. Namun dia memberikan banyak petuah dan sebuah jalan, untuk membuat pintu lain terbuka dan menciptakan hal-hal baru yang bahkan tidak pernah kupikirkan pada awalnya.
"Nak, cobalah untuk melukiskan sesuatu dalam kanvas ini."
Aku buta dah tidak bisa melihat. Namun dia memberikan aku sebuah kanvas. Bagiku ini adalah hari sial karena bertemu dengannya. Segala kekesalan kutumpahkan dalam kertas kanvas yang membuat hatiku lebih sedih dari apapun juga.Â
Namun tiba-tiba Bapak Kepala Seni melihat hasil kekesalan yang kumiliki di secarik kertas tersebut.
"Wah, indahnya! Bisakah aku memilikinya? Bagaimana jika kutukar dengan cincin pernikahanku?"
"Rin, bagaimana menurutmu? Apakah lukisanmu itu bisa ditukar dengan cincin pernikahannya?"
Aku yang buta hanyalah diam. Memandang semuanya gelap, namun pendengaran ini hampir tidak mempercayai kenyataan yang ada saat ini.
"Aku ingin menukar dengan kedua mataku, bisakah?"