Disaksikan alam, aku masih saja merenungi nasibku yang terbawa oleh banyak asap-asap knalpot pinggir jalan. Sejak hari itu, saat kepala sekolah memberikan penghargaan yang serupa dengan kecibiran, maka keinginan untuk melanjutkan sekolah sudah lepas dan kutinggalkan.
Walaupun ada satu rasa yang kutitipkan di balik gedung sekolah paling favorit di Jakarta, namun bagiku cinta hanyalah untuk para pemuja kehidupan saja, sedangkan aku hanya sosok penggemar bait kosong.
Mobil-mobil sudah mulai sibuk memadati Jakarta. Ayah membuka bengkel dengan napas panjang yang penuh kekhawatiran hidup. Sedangkan kakak masih mencoba melukiskan sesuatu di secarik kertas yang sedari tadi masih berwarna putih.
"Bram! Bantulah ayah."
Secepatnya kakak membantu ayah, namun setelah hampir setengah jalan, dia kembali menghadap kertas kanvas dengan keliaran tangan mengikuti instruksi naluri yang mulai berimajinasi tanpa henti-hentinya.
Setengah jam lukisan selesai, kemudian dirapikan kembali dekat samping kantor kecil, tempat kami mengelola bisnis kecil, bahkan sangat kecil dan serba kekurangan. Tempat ini perlahan-lahan mulai sepi akibat persaingan usaha yang tidak kondusif.Â
Jikalau saja paman masih ada, kemungkinan besar bisnis ayah terselamatkan. Namun memang sudah takdirnya harus mengikuti perjalanan rasa sakit, semangat mereka kali ini memang benar-benar tipis, setipis kulit Ari.
Bayangkan saja, modal untuk membeli bahan-bahan saja sudah tidak lagi cukup. Sehingga bisnis hanya bergerak untuk membersihkan kendaraan dari debu-debu dunia yang sangat memabukkan sekali.
"Borjois, putar otakmu untuk makan hari ini," Ayah tiba-tiba menyuruhku yang tengah sibuk bermain dengan motor antik, yang sudah lama tidak selesai diperbaiki akibat mahalnya onderdil.Â
"Mudah, ayah! Jalankan saja mesin Piero dari paman."
"Mesin itu sudah terjual seharga sejuta untuk peralatan melukis kakakmu."