Setiap pasangan yang baru menempuh hidup bersama dalam satu atap, tentunya teramat sangat merindukan seorang anak. Hal yang demikian juga terjadi kepada pasangan muda yang baru sebulan ini mengikrarkan janji di depan penghulu, yakni Ayla Nadira dan Arsya Adrian. Sering kali mereka terlibat cekcok, meributkan hal yang sama, yaitu "Mengapa Ayla belum juga mengandung si buah hati yang dirindukan?".
Sore itu, Ayla kembali mencoba meredam emosi Arsya yang sudah keterlaluan. "Ay, aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus tes kesehatan ke dokter, siapa tahu kamu itu mandul." "Sya, udah berkali-kali aku bilang sama kamu. Aku itu nggak mandul, Sya. Aku sehat-sehat aja, karena aku baru aja tes kandungan bulan lalu sama Mama kamu." Arsya menghempaskan tubuhnya kebelakang, di mana terdapat sandaran kursi yang didudukinya di sana.Â
Dalam hatinya, dia masih saja tak percaya pada hasil tes istri tercintanya. Dia terlalu takut, jika nanti terdapat masalah pada rahim Ayla. "Sya, Sayang, aku mohon dengan sangat sama kamu. Tolong bersabar sedikit lagi! Aku yakin, kita akan secepatnya mempunyai putra atau putri yang kita idamkan." "Sabar kamu bilang? Sampai kapan aku harus sabar? Apa rambutku harus beruban dulu baru nanti aku bakalan punya anak, hah? Ay, kamu liat dong kakak-kakak aku. Mbak Rina udah punya anak 3, bang Rian juga udah punya 2. Kamu itu harusnya malu, karena kamu nggak bisa jadi istri yang sempurna buat aku."Â
"Cukup, Sya. Kalau gini caranya, aku nggak akan bisa kuat sama kamu. Kalau kamu udah nggak anggap aku lagi, dan kamu juga udah cap aku sebagai istri yang nggak sempurna, lebih baik kita pisah aja. Aku nggak mau jadi sakit mental gegara sering ribut sama kamu." "Ay ... Maksudku nggak gitu ..." "Udah, Sya. Hari ini juga aku mau pulang ke rumah ibu di Yogya, kamu nggak usah cari aku! Masalah berkas perceraian kita, akan aku urus secepatnya. Barang bukti juga udah kuat, karena sebenarnya aku sudah merekam semua kejadian ini."
Senja yang indah itu menjadi hari terakhir mereka memperdebatkan masalah yang sama dan tak berujung. Akhirnya, Ayla merasa sudah sangat lelah dalam menghadapi suaminya. Dia sudah memutuskan bahwa berpisah merupakan jalan terbaik bagi dirinya dan juga keluarga tercinta.
Malamnya, Ayla sudah berada di kereta api menuju Yogyakarta. Dia berangkat dari statsiun Gambir, karena memang Ayla dan Arsya tinggal di Jakarta. Di samping kanan Ayla, ternampak seorang ibu yang sedang mengandung. Kandungannya sudah sangat besar, mungkin sudah menginjak bulan terakhir. "Mau ke mana, Bu? Kok sendirian aja?" tegur Ayla, sengaja mencairkan suasana. "Saya mau ke Yogya, Bu. Saya mau menyusul suami saya yang bekerja sebagai TNI di sana.Â
Akan tetapi, baru saja saya memasuki kereta ini, saya mendapat kabar kalau suami saya mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat." "Hah! Kok bisa, Bu?" Sontak, mata Ayla membulat sempurna. Dia merasa sangat prihatin kepada ibu itu, dia juga merasa sangat bersedih atas meninggalnya ayah dari anak yang sedang dikandung orang di sampingnya. "Iya, Mbak. Jadi, ternyata suami saya itu mau kasih kejutan ke saya, dengan cara datang ke Jakarta bersama kawan seprofesinya.Â
Mereka pergi menaiki bis, katanya biar agak santai. Yah, tapi malah begini kejadiannya, Mbak. Bis yang dinaiki suami saya mengalami rem blong, sehingga menyebabkan bis tersebut menjadi tak terkendali dan masuk ke jurang. Saya sangat bersedih, Mbak. Kalau boleh, saya ingin mati saja, saya nggak mungkin sanggup membesarkan anak saya sendirian nantinya" "Jangan bicara seperti itu, Bu. Saya yakin, ibu adalah orang yang tabah dan bisa menerima semua keadaan ini."
Tiba-tiba, ibu itu terlihat sangat kesakitan. "Mbak, sepertinya saya mau melahirkan, gimana ini?" Tanpa babibu, Ayla langsung memanggil petugas untuk mengamankan si ibu. Untung saja, kerata yang ia naiki itu kereta bisnis. Kalau tidak, ibu itu pasti kesulitan dalam situasi begini.
Satu jam kemudian
Seorang petugas menghampiri Ayla dengan berlinang air mata. Di dekapannya, terdapat seorang bayi yang sangat mungil dan cantik. Ya, bayi itu adalah bayi perempuan yang menurut Ayla sangat mirip dengan ibunya. "Mbak, gimana keadaan ibunya? Dia baik-baik aja, kan?" Tanya Ayla sembari memancarkan raut penasaran pada wajahnya. "Mohon maaf, Mbak. Saya ... Saya tidak mampu menyalamatkan ibu dari bayi ini. Saya hanya petugas penanganan darurat di dalam kereta, bukan petugas medis yang ahli dalam membantu persalinan seseorang.
Ibu tersebut mengalami pendarahan setelah melahirkan, dan nyawanya tak tertolong lagi. Oya, sebelum dia mengembuskan nafas terakhir, dia sempat berkata bahwa saya harus memberikan bayi ini pada mbak yang duduk di samping ibu itu tadi, yaitu mbak. Apakah mbak bersedia?" "Baiklah, Mbak. Jika ini adalah amanah dari ibu tersebut, maka insyaallah saya akan menjaga anak ini dengan baik."
Setelah berujar demikian, Ayla langsung menggendong bayi mungil yang sudah dimandikan itu. Untung saja petugas tadi sempat belajar di sekolah tinggi kesehatan, meskipun harus kandas karena paksaan ibunya yang mengharuskan ia mengambil jurusan lain di perkuliahannya. Kalau tidak, maka sudah dipastikan bukan hanya ibunya yang tak terselamatkan, bayi tersebut mungkin juga akan mengalami nasib yang sama seperti ayah dan ibunya.
"Sayang, kamu adalah karunia dari Allah untuk bunda. Mulai sekarang, bunda akan memberi nama kamu Mentari Karunia Wati. Mentari artinya matahari, yang selalu memberikan sinar dan semoga kamu selalu memberi cahaya keceriaan dan kebaikan bagi bunda. Karunia artinya pemberian yang tak terhingga dari Allah. Sedangkan, Wati artinya adalah seorang wanita. Jadi, bunda berharap  semoga kamu menjadi gadis yang selalu memberikan keceriaan bagi bunda dan bagi semua orang yang mengenalmu."
Setelah kejadian itu, Ayla hidup damai bersama ibu dan anak angkatnya, dia juga memutuskan untuk tidak menikah lagi, karena dia hanya ingin fokus pada kebahagiaan kedua orang yang berarti dalam hidupnya tersebut.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H