Mohon tunggu...
Ade Irma Mulyati
Ade Irma Mulyati Mohon Tunggu... Guru - SDN Jaya Giri Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat

Mau berbagi itu indah karena menabur kebahagiaan, dengan ikhlas memberi semoga menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melestarikan Kearifan Lokal Melalui Kriya Anyam

8 November 2020   08:43 Diperbarui: 8 November 2020   08:45 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri.olahan canva


Kearifan lokal perlu dipupuk dan dilestarikan. Salah satu cara yang dilakukan dengan mengadakan lomba kriya anyam. Lomba tersebut biasanya berjenjang. Hal ini merupakan acara rutin tahunan, sebelum Pandemi Covid-19 melanda. Tahun sekarang seperti belum ada tanda-tanda akan dilaksanakan, kemungkinan ditunda dulu menanti sampai suasana aman terkendali.

Pada saat akan diadakan lomba, sekolah kami menjadi salah satu pesertanya. Kami pun mempersiapkan menyambut perhelatan tahunan tersebut dengan memilih siswa yang akan diikutkan lomba. Sedangkan guru pembimbingnya, ya siapa lagi pasti saya. Teman-teman akan menyerahkan urusan kriya anyam ke saya. Katanya,"Oh, urusan anyam menganyam serahkan ke orang Tasikmalaya".

"Waduh, sebagai turunan orang Tasikmalaya yang sudah dikenal dengan kerajian anyamnya saya berusaha tidak mengecewakan daerah kelahiran. Walaupun saya sudah lama meninggalkan kampung halaman tetap saja sebagian hati masih terpaut pada kenangan masa kecil di desa. Oleh karena itu saya menyanggupinya". Urusan bisa juara atau tidak itu belakangan. 

Strategi yang biasa saya lakukan:

#1 Membeli benda model

Sebelum pulang ke rumah saya mampir di toko kelontong, lalu membeli dua buah benda yang akan dijadikan model. Kalau mau membuat hihid ya saya beli hihid, begitu pula jika saya berencana akan membuat benda lainnya. Saya pasti mencoba dulu menganyam benda sasaran. Satu benda akan dikorbankan untuk latihan. Hal ini penting dilakukan karena saya sudah lama tidak anyam menganyam, kadang lupa lagi. Siswa pun sama harus melihat model langsung sebelum menganyam, agar mengenal benda yang akan dibuat nanti.

#2 Menyiapkan bahan dan alat menganyam.

Bahan yang digunakan hanya bambu (awi tali) dan tali untuk pengikat. Bambu yang dipakai untuk menganyam, berbeda dengan bambu yang biasa digunakan. Biasanya kalau untuk lomba, saya memesan bambu yang sudah dipotong tipis (dihua). Hal ini untuk memudahkan siswa. Sedangkan tali pengikatnya saya gunakan tali plastik. Bagusnya menggunakan rotan.

Alat yang disiapkan berupa: pisau rautan, gunting, kain untuk alas, serta jarum besar (layar).

#3 Merendam bahan anyam.

Bambu yang sudah dihua tersebut di rendam sebentar di air. Tujuannya agar bambu yang sudah dihua (diraut tipis) tidak mudah patah (regas). 

#4 Meniriskan (mengangin-anginkan) bahan anyam.

Tujuan meniriskan agar bambu cukup lembab sehingga mudah dibentuk/dianyam jadi tidak kaku.

#5 Mencoba sendiri menganyam.

Setelah bahan siap, selanjutnya saya amati hihid satunya lagi yang dijadikan model. Dengan seksama saya ikuti tata cara menganyam hihid berdasarkan model itu. Entah berapa jam berlalu tanpa akhir memuaskan. 

Tiba-tiba suami pulang kerja, dia melihat dan bertanya, " Sedang apa bu?" 

Saya menjawab,"Membuat hihid". 

Dia tertawa,"Haha, kok begitu caranya?

"Memang bagaimana cara menganya hihid?, kataku balik bertanya.

Setelah selesai istirahat dia mencontohkan cara membuat hihid. Sambil menyimak saya tersenyum pantesan dari tadi tak kelat-kelar ternyata salah awalnya. Begitulah yang saya lakukan mencoba dulu karena keterampilan yang lama tidak digunakan akan lupa.

#6 Siap melatih siswa.

Singkat cerita, selesai sudah belajar membuat benda yang akan dianyam dalam semalam. Besoknya dengan percaya diri saya tularkan ke salah satu siswa yang akan mengikuti lomba. Ternyata tidak sia-sia perjuangan belajar. Siswa kami berhasil menjadi salah satu yang menjadi juara di tingkat kecamatan. Alhamdulillah, sing penting kecatet namanya dalam urutan juara.

Sejak saat itu saya selalu saja menjadi spesialis pembimbing siswa mengikuti lomba kriya anyam. Hampir setiap tahun selalu mengikutkan. Raihan prestasi  berputar juara pertama, kadang kedua, kadang ketiga. Semuanya tergantung ketekunan siswa. 

Jika siswanya mau menyelesaikan waktu lomba selama 5 jam hasilnya pasti memuaskan. Tetapi kalau siswanya sudah menyerah di tengah jalan ya, hasil kriya anyamnya hanya separuhnya. Saya tidak bisa memaksakan.

Tidak apa-apa, yang penting sekolah saya berpartisipasi dan nama sekolah terpampang di susunan juara walau masih di tingkat kecamatan. Adapun hasil kriya yang dihasilkan membuat hihid, aseupan, keranjang/tempat gabah, dan tas dari tali rami/tali kur.

Bagi kami sebagai guru, jika menjadi juara itu bonus dari kerja keras, sedangkan hal yang membahagiakan adalah mengenalkan salah satu kearifan lokal dalam bentuk melestarikan seni kriya anyam agar dikenal siswa.

Bandung Barat, 08-11-020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun