Aku sebenarnya tidak pernah bermimpi datangnya masa pandemi dengan mengharuskan kedua anakku belajar dari rumah. Bahkan aku sendiri tidak pernah mengalami. Dulu, tatkala aku kecil yang namanya sekolah, ya tempatnya di sekolah.
Dibatasi oleh ruangan tembok, di dalamnya berjejer meja, kursi, papan tulis dan penghapus. Kadang temanku sebut saja Gani, usil sekali. Dia paling sukanya melemparkan penghapus ke teman yang lainnya. Lalu mulailah keributan dialami. Kelas yang awalnya tenang menjadi gaduh.Â
Tapi kini, lain lagi ceritanya. Emak- emak harus beradaptasi dengan teknologi. Bayangkan, pembelajaran sekarang dengan daring menuntut emak bisa mengotak-atik hp. Yang biasanya sekadar teleponan, sekarang harus pintar merekam ketika anak membaca, terus membuat video ketika anak melakukan gerakan.
Belum lagi, emak mesti wara wiri. Mengantarkan tugas mingguan ke kordinator kelas. Nanti bergantian menyetorkan ke guru di sekolah.Â
"Bu, ayo cepetan kumpulkan. Ini tugasnya mau saya setorkan."
"Walah, tuh Dede cepet nulisnya. Jangan banyak alasan. Nanti kamu ketinggalan. Tugasnya mau diserahkan?"
"Ayolah, cepetan. Jangan banyak dihapus. Jangan banyak bercerita mengerjakannya. Ah, kamu malah sambil mainan nulisnya."
Aduh, begitulah drama rutin harian yang emak rasakan. Sebenarnya kenapa anak lebih nurut ke gurunya daripada ke emaknya? Hanya sekedar ingin anak nurut seperti apa kata emaknya, mesti pakai ajian apa ya?
Huh, bikin gemes, ternyata mengajari anak itu tidak gampang. Diperlukan seni mengajar agar anak disiplin dan mau mengerjakan sesuai jadwal. Emak sudah merasakan, bagaimana perjuangan batin yang harus dilalui, ketika menyuruh anak belajar.Â
Banyak saja alasan sehingga emak terpaksa melakukan kompensasi dengan iming-iming kembang gula atau membelikan mainan.
"Males ah, mak."