Mohon tunggu...
Ade Irawan
Ade Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Seorang yang berlatar belakang ilmu sosial dan politik, menulis di sini untuk mengasah kritis pikir serta memperdalam pemahaman atas isu multidimensional melalui tulisan-tulisan reflektif dan analitis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Angan Kesejahteraan Petani Padi yang Terganjal Tengkulak

11 Desember 2024   21:32 Diperbarui: 11 Desember 2024   21:32 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto petani di sawah (Sumber: Etienne Girardet, Unsplash)

Kelompok tani bukanlah sesuatu yang digagas sendiri oleh para petani dengan visi misi jelas untuk meningkatkan kondisi bertani mereka. Bourgeois (2003), dalam tulisannya yang dikutip oleh Syahyuti mengatakan "During the Soeharto Era, there was no room for the development of organization that were not under the control of goverment. The government considered all organizations at the village level (in particular kelompok Tani and KUD cooperatives) as instruments in policy implementation" (Syahyuti, 2013). Kondisi ini berlanjut hingga sekarang, menjadi sebuah sistem yang kokoh dan sulit untuk diubah.

Selain kondisi politis tersebut, tingkat pendidikan petani yang rendah mungkin juga menjadi salah satu faktor penyebab absennya visi dan misi di kalangan petani. Tidak ada kesadaran untuk berserikat sehingga petani bekerja secara individualistik. Sayangnya untuk hal ini, petani memang harus menggagasnya sendiri. Dibutuhkan kesadaran kolektif dari para petani untuk menciptakan kelompok tani demi kesejahteraan mereka sendiri.

Kesadaran kolektif tentu tidak datang begitu saja. Perlu adanya pemantik yang datang dari pemerintah untuk menstimulasi pola pikir petani kecil sehingga mereka turut menjadi bagian transformasi pertanian Indonesia. Dengan logistik dan sumber daya yang besar, pemerintah dapat lebih leluasa melakukan hal ini dibanding dengan pihak-pihak lain seperti NGO atau lainnya. Ke depannya, kelompok petani tidak hanya berfungsi sebagai wadah formalitas bagi pemerintah untuk melakukan pendataan maupun pemberian subsidi, tapi lebih dari itu, kelompok tani juga bisa berdaya menentukan nasib bertani mereka sendiri.

Tengkulak menjembatani petani dengan pasar. Jika kita ingin peran tengkulak hilang, maka perlu ada yang menggantikan posisi ini, dan itu adalah koperasi pertanian. Dengan munculnya kelompok-kelompok tani berdikari yang memiliki visi dan misi jelas tentang praktik bertani mereka, ini memungkinkan untuk kelompok-kelompok tersebut menciptakan koperasi pertanian. Karena sejatinya, koperasi pertanian haruslah muncul dari masyarakat, bukan diciptakan pemerintah.

Selama ini dukungan pemerintah sudah cukup baik terhadap koperasi pertanian. Dasar hukum dan kebijakan tentang koperasi sudah ada, bantuan seperti pendanaan dan pemberian infrastruktur juga diberikan. Contohnya seperti yang terjadi baru-baru ini di Kalimantan Tengah. Kemeterian Pertanian menyiapkan pertanian modern berbasis koperasi untuk mendukung pengelolaan Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) yang lebih profesional melalui kerjasama berbagai pihak (Geby, Radio Republik Indonesia, 2024).

Akan tetapi jika melihat lagi ke belakang, koperasi pertanian belum maksimal dalam membantu petani. Arsiya Istina Wenty Octisdah, seorang Bussiness Advisor Agriterra Indonesia, dalam webinarnya mengatakan bahwa setidaknya ada 3 tantangan yang dihadapi koperasi pertanian saat ini; 1) Belum adanya usaha yang jelas dari koperasi pertanian, hal ini dikarenakan koperasi pertanian terlalu fokus pada hal-hal terkait kelembagaan. 2) Kriteria keanggotaan terlalu lebar, sehingga anggota hanya membayar simpanan pokok dan wajib saja. 3) Koperasi pertanian hanya dijalankan oleh petani saja, sehingga kapasitas dan kapabilitas untuk mengembangkan koperasi pertanian sangat terbatas (Muhammad Syakir NF, NU Online, 2021).

Atas tiga masalah itu, beliau mengusulkan tiga solusi. Pertama, hasil tani dan olahan harus dikelola oleh satu manajemen. Kedua, koperasi perlu memiliki perusahaan berbadan hukum yang dimiliki petani. Ketiga, strukturisasi koperasi moderen, sehingga usaha yang dijalankan koperasi tidak diurus oleh anggota, melainkan sebuah struktur baru yang lebih profesional.

Transformasi pertanian harus datang dari bawah, tapi pemerintah perlu menjadi pihak utama yang memantik kesadaran kolektif tentang arah masa depan pertanian Indonesia di antara petani. Hilangnya ketergantungan pada tengkulak bisa menjadi snowball effect yang bergulir dan turut memantik hal-hal baik lain sehingga masa depan pertanian Indonesia lebih jelas terarah. Transformasi ini tidak hanya akan menghapus peran tengkulak, tetapi juga menciptakan sektor pertanian yang lebih berdaya, efisien, dan adil. Sebuah langkah kecil yang dimulai dari kolektifitas lokal bisa menjadi pondasi bagi perubahan besar di tingkat nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun