pertanian di Indonesia memang memiliki tantangan yang begitu rumit. Tidak hanya dari sisi teknis seperti bagaimana cara meningkatkan produktivitas atau adaptasi teknologi terbaru, tapi juga dari sisi non-teknis, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kondisi sosial-politik. Salah satu tantangan non-teknis yang sering terabaikan adalah keberadaan tengkulak yang justru menghambat upaya pencapaian kesejahteraan petani.
Kesejahteraan petani merupakan salah satu hal yang sering digaungkan banyak pihak namun realisasinya terasa begitu sulit. Banyak upaya telah dilakukan seperti penyuluhan, pembuatan kebijakan, dan masih banyak lainnya. KondisiTengkulak ibarat jamur yang muncul di area lembab tak terpapar sinar matahari. Mereka mengisi ruang kosong dalam rantai pasok pangan dan mengontrol harga hasil panen yang tidak menguntungkan petani. Untuk menghilangkan peran tengkulak dalam rantai pasok pangan, diperlukan upaya transformasi sektor pertanian yang menyeluruh, termasuk menghapuskan celah-celah yang memungkinkan tengkulak berkembang. Dari pengalaman pribadi sebagai petani padi di Kabupaten Pemalang, saya menyaksikan bagaimana petani masih sangat bergantung pada tengkulak sebagai satu-satunya cara cepat mendapatkan uang hasil panen.
Ketergantungan Petani Padi terhadap Tengkulak
Ketergantungan petani padi terhadap tengkulak berakar dari beberapa hal. Banyak petani yang menggarap pertanian skala kecil dan tidak memiliki modal yang cukup untuk mengolah hasil panen secara mandiri. Ditambah tingkat pendidikan petani yang rendah membuat mereka kesulitan mengelola proses panjang dari panen menjadi produk siap jual.
Memberi penyuluhan dan pelatihan agar petani memiliki kemampuan wirausaha atau bertani dengan pendekatan agribisnis tidak serta merta menjadi solusi bagi kesejahteraan petani. Motif bertani tiap individu sangat beragam. Misalnya, ada petani yang hanya menyewakan lahannya kepada penggarap tanpa terlibat langsung, dan ada pula penggarap yang sama sekali tidak memiliki sawah tetapi mengelola lahan orang lain dengan sistem bagi hasil. Kondisi ini mencerminkan kompleksitas sistem pertanian kita, di mana pendekatan agribisnis tidak selalu relevan.
Mengolah hasil panen menjadi produk akhir untuk dijual langsung ke pasar sering kali membutuhkan modal, waktu, dan keahlian yang tidak dimiliki oleh mayoritas petani kecil. Maka tidak heran jika menjual hasil panen pada tengkulak dianggap oleh petani sebagai sebuah cara instan yang paling masuk akal untuk dilakukan. Tengkulak menyediakan cara instan untuk mendapatkan uang dari hasil jerih payah bertanam padi, tanpa harus menghadapi tantangan yang lebih besar dalam distribusi dan pemasaran.
Sayangnya, hal ini dimanfaatkan oleh tengkulak untuk menyetir harga jual hasil panen dari petani. Dari pengalaman pribadi, tengkulak menentukan harga hanya dari menaksir luas garapan sawah dan kualitas padi selama musim tanam itu. Padahal jika dihitung berdasarkan HPP gabah yang ditentukan pemerintah, petani harusnya bisa mendapatkan penghasilan lebih dari yang ditawarkan tengkulak. Harga murah dari tengkulak masih harus dipotong ongkos produksi untuk membeli pupuk, bibit, dan pestisida, menjadikan keuntungan bersih yang didapat petani sangatlah kecil, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian jika hanya bergantung pada pertanian.
Mewujudkan Kesejahteraan Petani tanpa Tengkulak
Kesejahteraan petani adalah isu yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Apalagi, seperti yang sudah saya tuliskan di atas bahwa motif bertani tiap orang berbeda-beda, sehingga perlu didefinisikan terlebih dahulu makna petani kecil agar upaya dalam mewujudkan kesejahteraan mereka bisa lebih terukur, tidak hanya didasarkan pada ukuran statistik melalui Nilai Tukar Petani. Akan tetapi hal itu bisa menjadi bahasan dalam tulisan lain. Untuk artikel ini saya akan lebih menyoroti tentang tengkulak dalam pertanian padi berdasarkan pengamatan pribadi saya selama menjadi petani. Menurut saya, dengan menghilangkan tengkulak akan memantik transformasi pertanian secara keseluruhan. Rantai pasok pangan akan lebih ramping, dan tentunya penghasilan petani akan meningkat.
Ketergantungan petani pada tengkulak tidak terlepas dari isu lain seperti keterbatasan modal, pengetahuan, akses terhadap pasar, serta kebijakan yang kurang mendukung petani kecil. Oleh sebab itu, menghilangkan tengkulak perlu dimulai dengan pembentukan kelompok tani yang berdikari dengan nilai serikat, bukan hanya lembaga untuk mempermudah penyuluhan pemerintah.
Selama ini kelompok tani hanyalah sebuah lembaga yang digunakan untuk mempermudah kegiatan pemerintah terhadap petani. Syahyuti, dalam tulisannya berjudul Pemahaman Terhadap Petani Kecil Sebagai Landasan Kebijakan Pembangunan Pertanian membahas bahwa petani kecil juga memiliki hak dalam berorganisasi. Ia mengatakan bahwa selama ini pendekatan yang dilakukan dalam membentuk kelompok tani kurang memberi kematangan proses dan menyebabkan tidak berkembangnya kultur organisasi, melainkan kultur pragmatis dengan ciri lebih mengutamakan kepuasan pihak-pihak lain, dalam hal ini pemerintah, dibandingkan kebutuhan sendiri (Syahyuti, 2013).
Kelompok tani bukanlah sesuatu yang digagas sendiri oleh para petani dengan visi misi jelas untuk meningkatkan kondisi bertani mereka. Bourgeois (2003), dalam tulisannya yang dikutip oleh Syahyuti mengatakan "During the Soeharto Era, there was no room for the development of organization that were not under the control of goverment. The government considered all organizations at the village level (in particular kelompok Tani and KUD cooperatives) as instruments in policy implementation" (Syahyuti, 2013). Kondisi ini berlanjut hingga sekarang, menjadi sebuah sistem yang kokoh dan sulit untuk diubah.
Selain kondisi politis tersebut, tingkat pendidikan petani yang rendah mungkin juga menjadi salah satu faktor penyebab absennya visi dan misi di kalangan petani. Tidak ada kesadaran untuk berserikat sehingga petani bekerja secara individualistik. Sayangnya untuk hal ini, petani memang harus menggagasnya sendiri. Dibutuhkan kesadaran kolektif dari para petani untuk menciptakan kelompok tani demi kesejahteraan mereka sendiri.
Kesadaran kolektif tentu tidak datang begitu saja. Perlu adanya pemantik yang datang dari pemerintah untuk menstimulasi pola pikir petani kecil sehingga mereka turut menjadi bagian transformasi pertanian Indonesia. Dengan logistik dan sumber daya yang besar, pemerintah dapat lebih leluasa melakukan hal ini dibanding dengan pihak-pihak lain seperti NGO atau lainnya. Ke depannya, kelompok petani tidak hanya berfungsi sebagai wadah formalitas bagi pemerintah untuk melakukan pendataan maupun pemberian subsidi, tapi lebih dari itu, kelompok tani juga bisa berdaya menentukan nasib bertani mereka sendiri.
Tengkulak menjembatani petani dengan pasar. Jika kita ingin peran tengkulak hilang, maka perlu ada yang menggantikan posisi ini, dan itu adalah koperasi pertanian. Dengan munculnya kelompok-kelompok tani berdikari yang memiliki visi dan misi jelas tentang praktik bertani mereka, ini memungkinkan untuk kelompok-kelompok tersebut menciptakan koperasi pertanian. Karena sejatinya, koperasi pertanian haruslah muncul dari masyarakat, bukan diciptakan pemerintah.
Selama ini dukungan pemerintah sudah cukup baik terhadap koperasi pertanian. Dasar hukum dan kebijakan tentang koperasi sudah ada, bantuan seperti pendanaan dan pemberian infrastruktur juga diberikan. Contohnya seperti yang terjadi baru-baru ini di Kalimantan Tengah. Kemeterian Pertanian menyiapkan pertanian modern berbasis koperasi untuk mendukung pengelolaan Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) yang lebih profesional melalui kerjasama berbagai pihak (Geby, Radio Republik Indonesia, 2024).
Akan tetapi jika melihat lagi ke belakang, koperasi pertanian belum maksimal dalam membantu petani. Arsiya Istina Wenty Octisdah, seorang Bussiness Advisor Agriterra Indonesia, dalam webinarnya mengatakan bahwa setidaknya ada 3 tantangan yang dihadapi koperasi pertanian saat ini; 1) Belum adanya usaha yang jelas dari koperasi pertanian, hal ini dikarenakan koperasi pertanian terlalu fokus pada hal-hal terkait kelembagaan. 2) Kriteria keanggotaan terlalu lebar, sehingga anggota hanya membayar simpanan pokok dan wajib saja. 3) Koperasi pertanian hanya dijalankan oleh petani saja, sehingga kapasitas dan kapabilitas untuk mengembangkan koperasi pertanian sangat terbatas (Muhammad Syakir NF, NU Online, 2021).
Atas tiga masalah itu, beliau mengusulkan tiga solusi. Pertama, hasil tani dan olahan harus dikelola oleh satu manajemen. Kedua, koperasi perlu memiliki perusahaan berbadan hukum yang dimiliki petani. Ketiga, strukturisasi koperasi moderen, sehingga usaha yang dijalankan koperasi tidak diurus oleh anggota, melainkan sebuah struktur baru yang lebih profesional.
Transformasi pertanian harus datang dari bawah, tapi pemerintah perlu menjadi pihak utama yang memantik kesadaran kolektif tentang arah masa depan pertanian Indonesia di antara petani. Hilangnya ketergantungan pada tengkulak bisa menjadi snowball effect yang bergulir dan turut memantik hal-hal baik lain sehingga masa depan pertanian Indonesia lebih jelas terarah. Transformasi ini tidak hanya akan menghapus peran tengkulak, tetapi juga menciptakan sektor pertanian yang lebih berdaya, efisien, dan adil. Sebuah langkah kecil yang dimulai dari kolektifitas lokal bisa menjadi pondasi bagi perubahan besar di tingkat nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H