Didunia perkuliahan tak lazim ya terdengar kata Indeks Prestasi. Indeks Prestasi Kumulatif atau yang biasa disingkat menjadi IPK rasanya menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa yang baru saja menduduki dunia perguruan tinggi. Biasanya, di tahun pertama masa perkuliahan sebagian besar mahasiswa berlomba lomba untuk mendapatkan Indeks Prestasi yang tinggi.Â
Semangat dan tingkat kerajinannya luarbiasa diatas rata rata. Tapi makin tambah semester makin merasa "Sudahlah, yang penting aku bisa lulus kuliah". Hayoo ngaku! meskipun tidak semua seperti itu loh ya.Â
IPK bukanlah akhir dari segalanya. Tapi Indeks Prestasi Kumulatif merupakan hasil akhir dalam bentuk angka yang dikumulatifkan selama masa perkuliahan. Ya! IPK hanyalah sebuah nilai padahal tentu saja bukan. Lebih tepatnya IPK dapat diartikan sebagai penilaian proses belajar dari awal hingga akhir.
Sudah bukan rahasia umum bahwa mahasiswa yang meraih Indeks Prestasi yang memuaskan setiap semester apalagi mahasiswa yang mendapat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi dengan predikat "cumlaude" saat wisuda akan memiliki image yang baik dan nilai lebih di mata banyak orang. Sudah dipastikan ada perjuangan tidak biasa yang pernah dilakukan. Benarkah seperti itu ?, kalau kubilang "tidak selalu begitu" masih adakah yang percaya ? hehehe ...
"Rajin pangkal pintar, malas pangkal bodoh" , seperti itulah pepatah mengatakan.Â
Pintar dan cerdas sebenarnya berbeda. Mendapatkan IPK yang cukup baik memang tak menjamin bahwa seseorang dikatakan paling pintar dalam suatu komunitas.Â
Semua orang memiliki potensi diri yang berbeda dan semua orang sejatinya adalah pintar. Yang membedakan hanyalah semangatnya untuk rajin mempelajari hal-hal baru dan mengasah kemampuan yang dimiliki.Â
Kepintaran kadang didefinisikan sebagai kemampuan akademik saja, padahal sebenarnya cakupan nya cukup luas. Tak ada pisau yang tajam kalau tak diasah, sama hal nya dengan kemampuan untuk belajar dan berfikir kritis. Mmenurutku, ada ciri khas mendasar antara pintar dan cerdas.Â
Mengingat pengalaman pribadi, aku merupakan tipe orang yang suka belajar. Saat duduk dibangku kuliah, sebagian waktu kuhabiskan untuk belajar dan berorganisasi. Mempelajari bagaimana caranya untuk tak pernah berada di zona nyaman. Duhh kejam sekali ya
Setiap kali menghadapi ujian semester aku belajar mati-matian, semua materi berusaha ku kuasai dengan belajar berulang-ulang, bahan bacaan selalu kuhafal. Bukan hanya itu, semua praktik lapangan kuusahakan untuk mendapat nilai sempurna.Â
Melatih diri untuk berkomunikasi dan melakukan presentasi serta edukasi dengan baik. Selama kuliah aku hanya mengalami satu kali remedial karena satu kelas memang benar-benar tak ada yang lulus.
Skripsi ku kejar hingga berhasil sidang akhir lebih awal dari teman-teman yang lain. Hingga pada akhirnya semua mata kuliah selama empat tahun tak pernah tertulis "C (cukup)" di transkip nilai dan predikat "Cumlaude" berhasil kuraih. Kalian bisa lihat, aku tidak cerdas tapi aku terlalu rajin dan sibuk belajar sehingga orang-orang menilaiku pintar saat itu.
Lain halnya dengan temanku, setiap kali menghadapi ujian semester dirinya asyik bermain mobil legend . Tak pernah sekalipun terlihat sibuk belajar atau membicarakan dan mendiskusikan soal materi kuliah.Â
Kalau kutanya apa alasannya bermain game setiap kali ujian semester akan dimulai, dirinya hanya menjawab "sebagai media merelaksasikan diri". Menurutku bagaimana bisa begitu, bagaimana caranya bisa menjawab soal-soal hanya dengan sekali membaca bahan materi lalu menyibukkan diri dengan bermain game online. Apalagi siklus ini terus menerus dilakukan selama empat tahun lamanya.Â
Tetapi meski begitu, semua ujiannya pun jarang sekali mendapat nilai buruk. Kami seangkatan memang geleng-geleng kepala dengan pencapaiannya meski tanpa belajar dan hanya bermain game online. Â
Ternyata dirinya adalah tipe orang yang sangat mudah untuk memahami hanya dengan sekali mendengarkan. Dapat berfikir kritis hanya dengan sekali menghadapi. Dirinya juga berhasil lulus dengan hasil yang bisa dibilang sangat memuaskan. Dan kalian bisa lihat, inilah yang kukira cerdas. Yang jelas, tidak serepot aku yah hehehe...Â
Tapi yang lebih menarik hati, dan tentu saja tak bisa dilakukan oleh semua orang. Ada temanku yang lain memang tidak unggul secara akademik dan menyelesiakan kuliah dengan IPK pas-pasan, akan tetapi luar biasa piawai memainkan alat musik dan bernyanyi sehingga siapa saja yang menyaksikan akan memberinya tepuk tangan.Â
Ada juga yang berbakat bisnis dan jualan sehingga penghasilannya cukup besar untuk orang seusianya. Ada juga yang mudah mencairkan suasana sehingga orang-orang banyak yang merasa bahagia dengan kehadirannya. Oh ya, bukankah semua ini juga dapat dikatakan sebagai kepintaran bahkan keunggulan ?Â
Sejatinya, kita semua diciptakan sebagai orang yang pintar di dalam potensi kita masing-masing. Sehingganya besarnya IPK tidak cukup membuktikan bahwa seseorang itu pintar atau tidak.Â
Tapi setidaknya IPK akan membuktikan rajin tidaknya seseorang belajar secara akademik meskipun tak selalu begitu. Artikel ini kutulis karena beberapa waktu lalu ada seseorang yang bertanya kepadaku "Apakah IPK mencerminkan kepintaran?" spontan kujawab "tidak selalu".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H