Sudah lebih dari empat bulan sejak kehadiran pandemi covid-19 di Indonesia telah mengubah banyak aspek dari kehidupan kita.
Mengubah semua rencana hidup yang telah kita susun rapi. Hati sudah kepalang jatuh cinta dan namanya terlanjur disebut-sebut sampai terukir indah dalam doa. Hiyahiyahiya...
Rencana menikah sudah disiapkan dari jauh-jauh bulan. Semuanya sudah dikonsep sedemikian rupa mulai dari tema acara, tempat acara, sampai rencana berbulan madu. Duhh, asyiknya...
Berangkat dari pengalaman pribadi, aku merupakan salah satu dari ribuan orang yang nyatanya memilih untuk menunda pernikahan.Â
Bukan hanya karena pandemi yang membatasi jumlah tamu undangan dan durasi acara, tapi karena keberadaanku di ibu kota. Kita semua tahu bagaimana peningkatan kasus positif covid-19 di Jakarta sejak bulan Maret.
Kebetulan pekerjaanku sebagai tenaga medis yang pada akhirnya lebih memilih berjarak dengan keluarga. Ditambah lagi tentang kekawatiranku kepada orangtua dari calonku sudah berusia lanjut yang berarti merupakan seorang yang sangat rentan dan berisiko apabila harus menempuh perjalanan dari Surabaya ke Lampung atau mengenai kunjunganku dari Jakarta ke Surabaya.Â
Kalau dipikir-pikir dan dihitung hitung atapun ditimbang timbang (ya ampun ribet banget si aku), menunda pernikahan adalah hal yang sementara ini menurutku tepat. Mengingat kondisi saat ini yang belum bisa dikatakan cukup aman.Â
Jarak menjadi hal yang paling kuhitung untuk melangsungkan pernikahan karena untuk bepergian tak sebebas seperti dahulu kala. Belum lagi kepikiran soal virus covid-19. Inilah yang bisa dikatakan bahwa LDR (Long Distance Relationdhip) itu kadang terasa berat untuk sebagian orang.
Aku di sini tidak merasakan hal seperti ini sendirian. Seniorku juga merasakan hal yang hampir sama. Gaun pernikahan sudah terlanjur dipesan, tapi untungnya undangan belum terlanjur disebar.Â
Acara pernikahan dan adat direncanakan di Medan pada tanggal, bulan, dan tahun tepat 20 hari setelah pemerintah menetapkan peraturan PSBB di Jakarta pada bulan April lalu.Â
Kebetulan beliau rekan kerjaku sebagai tenaga medis di Jakarta. Suka tidak suka, mau tidak mau, beliau harus stay at work and will be there for pasien-pasiennya. Aku tidak pernah berani menanyakan bagaimana perasannya saat itu. Aku hanya melihat sosoknya sebagai seorang yang patut diacungi jempol.Â
Lain halnya dengan sahabat karibku di Lampung. Karena rencana menikah sudah digodok matang-matang, rasanya cukup memungkinkan untuk melakukan ijab kabul terlebih dahulu, yang penting sah dulu.
Setelah memasuki era new normal, sahabatku tetap mengadakan akad nikah secara khidmat dan berkesan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat. Surat undangannya pun dibuat secara elektronik dan hanya dibagikan di media sosial serta mengundang secara pribadi.Â
Mohon maaf dikarenakan pandemic Covid-19 yang terjadi saat ini, kami harus mematuhi pemerintah untuk tidak menyebarkan surat undangan dan menunda acara resepsi pernikahan sampai waktu yang belum bisa ditentukan.
Aku masih ingat, di video wedding announcement terlampir kalimat unik seperti itu. Kalimat yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Apalagi untuk muda-mudi zaman now. Pengalamannya melaksanakan pernikahan di masa-masa ngeri seperti ini dengan lapang hati ia bagikan kepadaku.Â
Pada saat hari pernikahannya, aku sebagai sahabatnya dari masa sekolah menengah pertama hingga saat ini sedih rasanya tak bisa memberi ucapan selamat dan menyaksikan pernikahannya secara langsung, apalagi menjadi bridesmaid untuknya.Â
Konsep acara pernikahan sahabatku tidak berlangsung meriah seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, hanya sederhana saja diadakan di rumah dengan dekorasi yang minimalis tetapi unik dan menarik untuk suasana pengambilan dokumentasi.Â
Tamu undangan pun hanya dibatasi untuk 20 orang, ditambah dengan keluarga inti dari pihak perempuan dan pihak laki-laki.Â
Pihak keluaga hadir saat pengucapan ijab kabul pada pukul 8 hingga pukul 10 pagi. Tamu undangan dijadwalkan hadir pukul 10 pagi hingga pukul 12 siang. Semua orang yang hadir diwajibkan untuk menggunakan masker termasuk pengantinnya.
Tamu undangan dianjurkan untuk mencuci tangan sebelum masuk ke rumah mempelai dan dilakukan pengukuran suhu tubuh serta dianjurkan agar sebisa mungkin menerapkan physical distancing.
Setelah itu tidak ada lagi kumpul-kumpul dan acara makan bersama. Catering makanan untuk tamu undangan dibagikan secara terpisah untuk masing-masing tamu. Untungnya para tamu undangan bersikap pengertian dan menghargai anjuran dari keluarga mempelai.Â
Terus, tamu undangan datang bawa apa?
Ternyata tamu undangan ga bawa apa-apa lho. Tak lazim ya fenomena seperti ini. Ada hal unik dari pernikahan sahabatku, mayoritas tamu undangan adalah teman-teman terdekatnya. Sehingga mereka kompak untuk memberikan kado pernikahan dengan cara dikirimkan melalui agen pengiriman barang.Â
Kalau dipikir-pikir bisa saja sih untuk menghindari menumpuknya barang-barang saat acara pernikahan berlangsung. Kalau aku mengiriminya kado pernikahan melalui agen pengiriman barang ya karena memang aku berada di Jakarta lho.Â
Tapi sudahlah jangan terlalu banyak berpikir ya. Entah siapa yang memulai ide seperti itu, yang jelas sahabat karibku bilang bahkan ada kado yang datang sebelum acara pernikahan dan sebagian besar kado lainnya datang bergilir sesudah acara pernikahan digelar, tapi justru tidak ada yang membawanya saat pernikahan berlangsung. Bisa begitu ya, apa mungkin kebetulan saja?
Bisa jadi mereka sudah mengirimnya sebelum acara pernikahan tapi ternyata waktu sampainya di luar dugaan dan berakibat sampai pada tanggal sesudah acara pernikahan. Atau bisa juga karena mereka mengirimnya dengan terget akan sampai pada hari pernikahan tetapi malah sampai sebelum pernikahan.
Hehehe sudahlah tak apa yang penting kadonya sudah sampai ya, sahabatku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H