Rasanya kalau bicara soal restu ketika kita membangun suatu hubungan memang sangat penting ya. Terlebih lagi restu dari orangtua, baik ayah maupun ibu.
Apa jadinya kalau suatu hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan tak kunjung memperoleh restu. Padahal rencana untuk melangkah ke jenjang lebih serius sudah berada di depan mata. Tak terbayang deh, konflik sini-sana, hati yang patah dan remuk, perasaan tak karuan, apalagi makan jadi tak enak, tidur pun tak nyenyak .Â
Ide menulis artikel ini bermula saat kawan lamaku tiba-tiba mengirimi foto hasil tangkap layar dari seorang perempuan yang menulis status di akun Twitternya seperti ini "Gagal nikah perkara primbon, hiks. Sebelum pacaran sama orang Jawa jangan lupa hitung dulu wetonnya".
Di foto itupun tak lupa pula disisipkan kalimat "Tuh de, masih ada juga tuh di tahun 2020", begitu kata kawanku. Â
Puk Puk Puk yang sabar yah. Kamu ga sendiri kok, maksudnya aku juga pernah mengalami hal yang sama seperti ini. Tapi kok, ku malah jadi pingin curhat ya, hehe... yasudahlah.
Berbagi pengalaman tak ada salahnya bukan? Siapa tahu ada hal yang bisa dipetik dari apa yang sudah terjadi
Jangan melow-melow ya, aku cuma sekadar mengulas kisah lama. Gagal nikah perkara weton tak cocok memang memilukan. Lebih sedih dari sekadar kisah bawang merah dan bawang putih.Â
Jadi, begini ceritanyaÂ
Dua tahun yang lalu, aku menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang bersuku Jawa. Sebut saja Mas N. Aku tidak akan menyebut nama sesungguhnya di sini supaya privasinya tetap terjaga.
Ayahku sendiri bersuku Jawa, namun aku tercampur dengan budaya Minang karena Ibuku bersuku Padang. Tapi aku lahir dan besar di Lampung dan saat ini tinggal di Jakarta. Ribet sekali ya.Â
Konon katanya anak perempuan yang memiliki ayah bersuku Jawa, akan ikut bersuku Jawa. Tetapi lain halnya anak perempuan yang memiliki ibu bersuku Padang, maka anak tersebut akan ikut bersuku padang. Dadine Aku iki wong opo to? awak ko suku apo a?Â
Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan suku budaya tersebut. Fenomena seperti ini merupakan salah satu hal yang unik dan menarik di negara kita, bukankah begitu?
Setiap adat budaya memiliki ciri khas dan kebiasaan tertentu. Seperti dalam adat Jawa, rasanya kata primbon atau kejawen sudah familiar bukan?Â
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring milik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, primbon didefinisikan sebagai kitab yang berisikan ramalan, buku yang menghimpun berbagai pengetahuan kejawaan, berisi rumus ilmu gaib, sistem bilangan yang pelik untuk menghitung hari mujur, dan mengurus segala macam kegiatan yang penting.Â
Aku secara pribadi menghargai adanya primbon sebagai warisan leluhur suatu budaya, tetapi apakah hal tersebut benar atau sala? Wallahualam. Tuhanlah Yang Maha Berkuasa.
Cerita tentang primbon pun sebenarnya sudah tak asing lagi di telingaku. Sejak aku masih kecil, almarhumah Mbah buyut mahir sekali melakukan perhitungan Jawa setiap ingin mengadakan hajat atau bepergian kesuatu tempat.
Jari-jarinya yang sudah keriput juga tak menghilangkan semangat untuk menghitung siji, loro, telu, papat,limo, dst. Seperti itu kira-kira, aku tak tahu pasti dasar apa yang digunakan dalam perhitungan tersebut.Â
Sampai suatu ketika, perhitungan Jawa akhirnya berlaku di hubunganku dengan Mas N. Bermula dari hitung-hitungan yang dilakukan oleh keluarga mas N, sehingga memutuskan bahwa melangkah ke jenjang berikutnya tak perlu dilakukan menimbang ketidakcocokan weton yang sudah mereka hitung dengan seksama.
Rasanya bertolak belakang dengan apa yang ada dihatiku. Apalagi aku anak kelahiran tahun 90-an yang tak tertarik dengan perhitungan weton semacam itu. Di keluarga Ayahku, hitung-hitungan seperti ini sudah memudar dan nyaris tidak diberlakukan lagi.Â
Berdasarkan kalender Jawa, aku lahir pada Rabu Pahing dan dinyatakan memiliki weton berjumlah 16, sedangkan Mas N lahir pada hari Rabu Legi sehingga wetonnya berjumlah 11. Kalau dijumlah maka hasilnya 27.
Ada yang membagi jumlahnya dengan angka 5, ada juga yang membaginya dengan angka 9, tetapi kali ini keluarga Mas N justru menghitungnya dengan pembagian 3. Aku belum berusaha memahami apa yang menyebabkan perbedaan ini terjadi.
Konon, masing-masing perhitungan mempunyai kategori dan penjelasan tertentu. Dari jumlah 27 tersebut, kalau dibagi 9 maka ketemu dengan istilah "jodoh", kalau dibagi 5 maka ketemu "sandang" tapi kalau dibagi 3 jadi "pati".Â
Kata "jodoh" atau "sandang" diartikan sebagai hal yang baik. Namun, kata "pati" diartikan sebagai sesuatu yang buruk dalam adat Jawa.
Belum lagi jumlah wetonku yang lebih besar dibanding Mas N, katanya berdampak juga pada besarnya dominasi dalam sebuah hubungan, yang berarti apabila aku menjadi dominasi dibanding Mas N. Konon hal ini juga bukanlah hal yang baik, tetapi memangnya bisa begitu?Â
Kisah ini juga sempat menimbulkan adu argumen yang luar biasa di dalam keluarga. Memunculkan keraguan dan keresahan tak terbendung. Sampai-sampai timbul pertanyaan di dalam hati, "Sebenarnya ini cobaan untuk kita yang saat ini berusaha melangkah ke jenjang lebih serius atau memang sebuah jalan yang mengatakan bahwa kita tidak berjodoh?".Â
Dan lagi, cinta tak boleh seegois itu kan? Merelakan bukan hal yang salah, memperjuangkan pun adalah hal yang lumrah. Tetapi sebuah restu tetap saja menjadi syarat mutlak bagi seorang anak laki-laki dihadapan ibunya.
Aku masih ingat kata Ayah ketika menasehatiku, "Saat seorang perempuan memutuskan untuk menikah surganya terletak pada suaminya, tetapi surga suaminya tetap terletak pada ibunya".Â
Jadi mau bagaimana lagi kalau tak mendapatkan restu? Haruskah gagal menikah? Atau hanya menunda menikah dan berjuang untuk mendapatkan restu?
Sekali lagi, Tuhanlah yang akan menyatukan hambanya yang memang berjodoh. Lantunan doa-doamu hari ini akan menjawabnya suatu hari nanti. InsyaAllah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H