Oleh: Ade Imam Julipar
13-03-2020
Ketakutan kadang terlahir dari pengetahuan. Ketika kita belum mengetahui suatu hal, ketakutan tidak ada. Tetapi setelah mengetahuinya, ketakutan itu muncul.
Dulu waktu usia belasan tahun, saya sering lewat sebuah jalan di kampung saya. Setelah pulang bermain malam saya selalu lewat jalan itu. Jam 10 atau kadang jam 11 malam. Biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Nah, masalah justru datang ketika ada seorang kawan yang bercerita bahwa di jalan itu ada orang yang pernah melihat sosok hitam, tinggi, dan besar di bawah pohon asem di dekat lapangan. Sosoknya tidak terlalu jelas. Bukan hanya satu atau dua orang yang pernah melihatnya. Sudah puluhan orang. Dan mereka yang melihat, reaksinya sama: lari tunggang langgang.
Sejak mendengar cerita itu, ada rasa takut menyergap kalau melewatinya. Yang biasanya  melangkah santai, kini saya harus agak mempercepat jalan saat melewati pohon asem dekat lapangan di jalan itu. Bahkan kadang hampir setengah berlari. Walaupun takut, tetap saja saya berjalan sambil menengok pohon asem itu. Memang tidak terlihat sosok hitam yang diceritakan teman saya, tetap saja ketakutan itu ada.
Setelah mendengar cerita kawan saya itu, ketakutan muncul. Jadi, memang benar ketakutan berasal dari pengetahuan kita.
Dalam buku Fears and Phobias- nya Tony Whitehad, Â takut didefinisikan sebagai state anxiety yaitu suatu keadaan emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat subjektif. Biasanya berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan yang khusus.
Atau mungkin kita masih ingat beberapa kawan kecil kita yang juga pernah disergap rasa takut ketika berhadapan dengan gadis pujaannya. Keringat dingin keluar, lidah kelu tak mampu berucap satu patah kata pun. Ya, ketakutan itu nyata. Padahal sosok gadis kecil di depannya bukanlah sosok hitam , tinggi, dan besar  di bawah pohon asem dekat lapangan. Bukan. Bukan sosok yang itu. Sosok yang di depannya adalah gadis kecil, mungil, putih, dan manis. Gula kali manis. He he he. Tapi efek ketakutannya sama persis dengan melihat  sosok hitam , tinggi, dan besar itu.
Padahal ketika berhadapan dengan gadis cilik teman sekolah lainnya, dia begitu bebas berbicara ngalor ngidul tanpa beban. Tetapi entah kenapa, di hadapan gadis kecil, mungil, putih, dan manis itu seluruh keberaniannya menguap entah kemana. Gone with the wind.
Lagi-lagi kita harus membuka Freud untuk mengetahui lebih jelas tentang ketakutan dalam diri manusia.
Freud membagi dua ketakutan yang dirasa manusia. Yang pertama adalah ketakutan objektif, dan yang kedua adalah ketakutan neurotis.
Ketakutan objektif salah satu bentuk respon yang nyata terhadap sesuatu dari luar dirinya yang dianggap akan membahayakan.
Sedangkan ketakutan neurotis muncul dari dalam diri sendiri tanpa tahu apa yang menyebabkannya. Ada konflik tak sadar dalam diri individu.
Jadi, ketakutan terhadap cerita sosok hitam , tinggi, dan besar di bawah pohon asem dekat lapangan itu bisa dikategorikan ketakutan objektif. Karena ketakutan itu dimasukkan ke dalam pikiran lewat cerita.
Sedangkan ketakutan ketika berbicara dengan gadis kecil, mungil, putih, dan manis itu dikategorikan sebagai ketakutan neurotis. Kenapa? Karena gadis kecil, mungil, putih, dan manis itu bukan harus ditakuti, tetapi harusnya disayang. He he he.
Apapun itu bentuk ketakutannya, yang pasti ketakutan harus dilawan. Melawan ketakutan adalah dengan pengetahuan. Karena ketakutan bercokol dalam pikiran. Melawannya harus dengan pikiran juga. Dalam arti, cara berpikir kita yang harus kita benahi.
Sebagai penutup, saya akan kutipkan ucapan dari Will Smith,
"Fear is not real. It is a product of thoughts you create. Do not misunderstand me. Danger is very real. But fear is a choice."
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H