" Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely kalau dalam bahasa Indonesia, terjemahan bebasnya kurang lebih: Kekuasaan cenderung curang, kekuasaan mutlak pasti curang."
"Saya masih belum mengerti, Pa. Bisa dijelaskan lebih lanjut?" Mas Yon coba mengejar.
Bapak itu saya lihat sudah menyelesaikan makan buburnya. Setelah minum teh hangat, bapak itu menyalakan Dji Sam Soe-nya, kemudian menghisap dalam-dalam. Ada tiga sampai empat kali hisapan, dia lanjutkan berbicara.
" Saya ambil contoh langsung saja ya. Penguasa sekarang adalah presiden. Kemudian presiden mencalonkan kembali sebagai petahana. Nah, kecenderungan untuk curang ada di kubu petahana. Kenapa? Karena dia punya semua alat untuk curang. Dia punya institusi, dia punya media, dan lain-lain. Kemudian kita bisa saksikan hasil pemilu kemarin. Di televisi yang menang petahana, sedangkan hasil yang dikeluarkan KPU berbanding terbalik dengan apa yang ada di televisi. Saya tegaskan sekali lagi ya, ada kecenderungan ke arah itu. Sudah jelas kan sekarang Mas Yon?" bapak itu mengakhiri penjelasannya.
Mas Yon mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kegembiraan di raut wajahnya. Gembira karena mendapat wawasan baru.
Saya pun sudah selesai menyantap bubur. Setelah meminum teh hangat sampai dua gelas, saya hisap Marlboro Ice Burst, sambil pikiran melayang jauh. Jauh sekali. Melayang pada kenangan dua puluh tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 1999.
Pada Pemilu tahun 1999, saya pernah menjadi Caleg. Bersama beberapa orang sahabat-sahabat se-ideologi , saya terjun ke politik praktis. Jadi, saya tahu apa yang terjadi dalam politik praktis. Walaupun saat itu saya tidak menjadi anggota legislatif, paling tidak saya pernah mengalami hidup dalam dunia politik.
Perhitungan suara pada waktu itu tidak secepat sekarang. Dibutuhkan waktu beberapa hari untuk mengetahui rekapitulasi hasil perhitungan suara. Kalau tidak salah ingat bahkan dalam hitungan minggu.
Ketika hasil sudah keluar, dan saya hanya mendapat tidak lebih dari 300 suara, saya pun baru sadar bahwa saya telah kalah. Campur aduk perasaan yang ada waktu itu. Saya membayangkan sekarang, perasaan ini pun akan dialami oleh para caleg-caleg sekarang yang kalah.
Dan sejak saat itu saya tutup buku dengan politik praktis. Saya sudah selesai dengan politik praktis. Cukup sudah pengalaman tahun 1999. Kemarin pun jari-jari tangan saya tak tersentuh tinta pemilu berwarna biru. Tak ada sisa tinta biru di jari tangan saya pagi ini.
Dalam setiap pertarungan, kalah menang adalah hal yang biasa. Tinggal bagaimana masing-masing menyikapinya. Yang menang jangan jumawa, dan yang kalah harus lapang dada.