Disinilah awal mulanya. Mereka membangun pondasi. Pondasi sebagai pijakan kekerasan kolektif yang akan mereka lakukan-- entah dengan atau tanpa korban. Jadi, jika ingin memutus mata rantai kekerasan kolektif para suporter klub sepak bola ini, aparat yang berwewenang bisa mulai dari sini. Mungkin bisa melakukan pendekatan edukasi disana. Dan kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda.
Dalam psikologi perkembangan, kita bisa dapati penjelasan mengenai masa seperti yang sedang dihadapi para suporter ini. Masa mereka adalah masa "sturm und drang" yaitu suatu masa dimana dorongan-dorongan tertentu bergerak laksana badai. Ya, ada kekuatan dari dalam yang melonjak-lonjak ingin mendapat pelampiasan.
Chairil Anwar dalam puisi Aku-nya menggambarkan dengan tepat bagaimana pedalaman seorang pemuda. Puisi yang ditulis pada 1943 ini penuh dengan gejolak masa muda:
"Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi "
Ada nada memberontak dalam puisi itu. Dan pemberontakan itu bisa berwujud kekerasan kolektif. Apalagi ketika kita membaca larik: