Oleh: Ade Imam Julipar
25-09-18
Selalu saja ada yang marah dan sakit hati jika orang mengatakan bahwa kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang sakit. Padahal sudah jelas kenyataan di sekeliling tidak mengatakan sebaliknya. Tetap saja ada yang tidak terima. Dan mungkin saja yang tidak terima itu salah satu dari mereka yang termasuk masyarakat sakit.
Kalau saja masyarakat kita tidak sakit, kita tidak mungkin mendengar sebuah berita yang mengejutkan tiga hari yang lalu. Berita itu dengan cepat menyebar. Dan sampai juga ke saya. Berita itu tentang seorang suporter bola yang mati dikeroyok oleh suporter pendukung klub bola lawan. Ini sebuah tragedi, sekaligus tragis.
Apakah kita masih akan mengelak dan menutup mata jika dikatakan masyarakat kita sakit? Peristiwa yang terjadi itu adalah cerminan dari masyarakat yang sakit. Ya, sakit secara kejiwaan. Orang dengan mudahnya menghilangkan nyawa sesama. Nyawa manusia sudah tidak ada harganya. Apapun dalih dan alasannya, tak akan ada yang dapat diterima otak waras untuk membenarkan tindakan tersebut. Itu jelas-jelas sebuah kejahatan atas kemanusiaan. Apakah ketika kita mengutip Thomas Hobbes --bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam manusia --lantas dengan serta merta membenarkan dan mengaminkan tindakan tersebut? Tentu saja tidak.
Mungkin akan berderet panjang teori-teori tentang kekerasan yang menyeruak keluar. Kita bisa menyebut beberapa diantaranya: Â J.J. Rousseau, Stuart, Sundeen, Â Kaplan, Colombijn, dan James B. Rule. Mereka semua mendeskripsikan apa itu kekerasan. Jika ditarik benang merah dari semua teori-teori itu, maka kita bisa mendapati sebuah kesimpulan bahwa kekerasan adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Nyawa seseorang telah terenggut oleh sebuah kekerasan kolektif. Dan ini akan berulang jika tidak ada upaya untuk memutus mata rantainya. Dendam muncul secara berkesinambungan dari suatu kejadian ke kejadian lain. Kejadian baru menimbulkan dendam baru.
Mungkin para pendiri bangsa ini akan menangis di alam sana jika menyaksikan para penerusnya berkelakuan seperti ini. Semangat sumpah pemuda yang menyatakan bahwa kita satu bangsa mendapat ujian berat, dikoyak-koyak oleh semangat primordialisme sempit. Hanya karena menjadi pendukung salah satu klub sepak bola, mereka menciptakan potensi konflik dari pertandingan ke pertandingan lainnya.
Fanatisme terhadap klub sepak bola, menjadikan mereka amnesia atas sejarah bangsanya sendiri. Lupa bahwa suporter lawan juga  hidup di negara yang sama. Luapan kegembiraan ketika mendukung klub sepak bolanya berlaga berakumulasi menjadi sebuah rasa posesif stadium tiga. Klub itu seolah-olah milik mereka. Dan jika ada apa-apa dengan klub-nya, mereka siap berdiri di garda terdepan. Yang pada gilirannya, orang di luar klub mereka dianggap musuh. Ada kebencian dan dendam yang terakumulasi disana. Sadar atau tanpa sadar.
Jadi, ketika akumulasi kebencian dan dendam itu mendapat moment yang tepat, akhirnya terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Kenapa saya katakan yang seharusnya terjadi? Karena akumulasi kebencian dan dendam itu sudah terpupuk subur di hati para suporter tersebut. Bagai kepundan gunung yang siap erupsi. Hanya persoalan waktu saja kapan meletusnya.
Sehingga ketika kita mendengar kejadian itu, walaupun mengagetkan, Â tetapi kita sudah tahu sebelumnya pasti hal itu akan terjadi. Sebuah kekerasan kolektif yang solid. Walaupun para suporter itu berjauhan, mereka menggunakan media sosial untuk berhubungan. Mereka membuat komunitas suporter klubnya. Disana mereka saling menguatkan antara yang satu dengan yang lain. Dan tak jarang ujaran kebencian atas klub lain pun kerap berseliweran disana.