Tadi pagi saya mengantar istri ke pasar untuk belanja bulanan. Karena ada kebutuhan membeli sayur mayur dan beberapa ons daging sapi, istri saya memilih belanja di pasar tradisional. Pasar tanpa AC. Terkesan agak semrawut dibanding belanja di Smart club, Hypermart, atau Carefour. Dan yang saya kurang sreg karena disana tidak ada: toko buku.
Kalau belanja bulanan di Smart club, Hypermart, atau Carefour, sambil menunggu istri saya belanja, saya bisa mampir dulu ke toko buku yang ada disitu. Entah itu Gramedia, Gunung Agung, atapun Salemba. Mungkin hampir semua ibu-ibu kalau belanja selalu lama. Memilih dan memilah apa yang mau dibeli. Padahal catatan belanja sudah dibawa. Tetap saja ada beberapa barang yang dibeli di luar catatan belanja.
Jadi untuk belanja bulanan kali ini terpaksa saya mengekor istri saya kemanapun dia melangkah di pasar tradisional itu. Sambil sesekali membuka Hp saya. Melihat email atau pesan WA masuk. Tapi itu tidak berlangsung lama. Hanya beberapa menit setelah masuk pasar. Karena di menit-menit berikutnya saya harus membawa belanjaan istri. Bukan pakai roli dorong. Tapi pakai kantung plastik. Dan kantong plastik itu dari menit ke menit makin bertambah saja. Belanja tidak hanya di satu tempat. Ke tukang sayur. Kemudian ke penjual bumbu dapur. Ke tukang daging sapi. Ke pedagang telor. Dan ke tukang kueh basah. Karena da juga beberapa kueh basah yang dibeli. Terakhir ke: pedagang beras.
Setelah memilih di antara karung-karung beras yang bertumpuk, istri saya pun menanyakan harganya.
"Ini yang berapa kilo, pa?" tanya istri saya ke pedagang beras.
" Itu yang 25 kilo , bu,"
" Ooh, kalau yang ini?"
" Yang itu 20 kilo,"
" Yang 20 kilo ini berapa, pa?"
" Itu 255 ribu, bu,"
Mendengar harga segitu, saya pun ikut nimbrung.
" Bukannya harga segitu yang 25 kilo , pa," kata saya.
" Engga pa, sekarang sudah naik. Iya, kalau kemarin-kemarin harganya masih segitu. Sekarang naik,"
" Iya, sekarang harga beras naik semua. Kan beritanya juga ada di TV," istri saya menegaskan.
"Wah, itu sih bukan naik. Itu pindah harga namanya. Saya engga pernah lihat berita sih, jadi engga tahu harga beras naik," kata saya ke pedagang beras itu.
Ya, memang saya jarang melihat berita di TV --untuk tidak mengatakan tidak pernah. Sudah lama sekali. Terakhir lihat berita ketika Jokowi dilantik menjadi presiden. Â Itu terakhir kali melihat berita. Trisakti terdengar ketika pidato pelantikan dari mulut Jokowi.
Bangsa Indonesia harus menegakkan Trisakti. Yaitu: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan, demikian salah satu bunyi pidato dari Jokowi ketika dilantik. Untuk Trisakti ini saya hapal betul. Bahkan ketika mengetik ini saya tidak melihat referensi apapun tentang Trisakti. Saya ketikkan apa yang teringat dalam otak saya tentang Trisakti.
Itu terakhir kali saya nonton berita di TV.
Karena tidak pernah nonton berita juga saya jadi tidak tahu bahwa harga beras naik. Melambung tinggi. Dan itu: pindah harga. Bukan naik.
Waktu SD saya pernah diceritai oleh salah seorang guru, bahwa kita adalah bangsa agraris. Nenek moyang kita selain pelaut adalah bangsa agraris. Â Mereka mengembangkan tanah yang ditempati untuk diolah menjadi lahan pertanian,. Menurut penelitian ahli purbakala, tradisi bersawah berasal dari Indonesia yang kemudian menyebar ke daratan Asia lainnya melalui Asia Tenggara. Dipadukan dengan kepandaian berladang dan berhuma yang sudah dikembangkan sebelumnya, terbentuklah tradisi mata pencarian pertanian berupa tanaman padi di sawah dengan menggunakan system pengairan.
Dengan berkembangnya kemakmuran yang dicapai dari hasil pertanian, meningkat pula jumlah punduduknya. Kelompok-kelompok yang sudah bertempat tinggal tetap kemudian membentuk suatu perkampungan yang kelak berkembang menjadi desa. Di desa-desa itulah peradaban perundagian dan agraris dikembangkan. Mereka mulai mengembangkan teknologi sederhana dengan cara memproduksi alat-alat pertanian untuk mengolah sawah, untuk alat-alat rumah tangga, ala upacara, dan alat menebang pohon atau kapak Naga Geni 212. Hehehe.
Dalam kegiatan pertanian, mereka mengolah lahan-lahan yang subur untuk menopang hidup mereka. Melalui proses evolusi dan sintesis budaya antar kelompok suku bangsa, terciptalah kepandaian baru dalam mengolah tanah, cara pembuatan alat-alat pertanian dari perunggu dan besi, serta pengetahuan tentang musim. Kepandaian bersawah ini kemudian menjadi salah satu corak peradaban pra-aksara Indonesia yang diwariskan sampai sekarang. Demikian guru SD saya itu bercerita  pada suatu siang ketika panas meruap disekeliling ruang kelas.
Dan kini, saya sebagai keturunan bangsa agraris, harus merasakan membeli beras yang mahal itu.  Saya harus merogoh kocek lebih dalam untuk makanan pokok saya: Beras. Apa saya harus beralih ke roti tawar yang dilapisi  mentega, coklat, dan susu saja sebagai pengganti nasi? Saya yakin perut saya tidak akan kuat. Karena ibu saya pernah berkata: yang namanya orang Indonesia, kalau belum makan nasi bilangnya belum makan. Padahal sudah makan lemper tiga bungkus. Tetap saja bilangnya belum makan.Â
Jadi , saya harus tetap  makan nasi. Nasi yang asalnya dari beras. Dan beras itu sekarang naik. Atau pindah harga. Kantong saya pun terkena imbasnya.
Salam Dari Benteng Betawi