Masa itu pas kencang-kencangnya iklim pelarangan buku di Indonesia terjadi. Kejaksaan Agung telah mengeluarkan list panjang. Banyak judul-judul buku dalam list itu. Dari sekian banyak judul buku dalam list, ada terselip sebuah judul: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Dan dideretan selanjutnya: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi yang kawan saya baru beli itu. Ya, buku-buku ini termasuk yang dilarang beredar di Indonesia. Sampai sekarang saya tidak pernah tahu apa alasan pelarangannya.
Kalau dalam pikiran bodoh saya, harusnya jika sebuah buku dianggap tidak layak beredar, bukan dengan jalan melakukan pelarangan. Tapi lawan itu dengan buku lagi. Jadi, masyarakat bisa tahu. Lha ini, seolah-olah ada yang ditutup-tutupi. Tidak ada transparansi. Bukankah hak semua dan setiap masyarakat untuk mendapat informasi. Informasi yang sebenar-benarnya dan sejelas-jelasnya.
Dengan jalan itu, akan tercipta sebuah situasi yang dialogis, yang pada gilirannya akan mencerahkan masyarakat. Buku yang dilarang, anggaplah, sebuah thesa. Dan buku lawannya adalah antithesa. Dari pergumulan itu nanti akan tercipta sebuah pengetahuan dan pemahaman baru atas kesadaran kolektif masyarakat. Akan muncul sebuah sinthesa  baru. Yang secara kuantitatif  dan kualitatif akan lebih tinggi kadar dan bentuknya. Dan ini akan mendorong timbulnya masyarakat yang cerdas. Hasil bentukan dari proses dialektika sebuah masalah.
Alhamdulillah sampai sekarang saya sudah mengkoleksi buku-buku Pram. Hanya tertinggal beberapa judul saja. Lima atau enam judul lagi yang saya belum punya. Yang belum punya itu  memang agak susah juga mencarinya. Saya sudah cari dibeberapa toko buku langganan saya. Di Jogja, Jakarta, Bandung, dan Tangerang. Sampai detik ini belum menampakkan hasil. Harus bersabar lagi hingga saatnya tiba. Saat dimana saya mempunyai koleksi lengkap karya Pram.
Mungkin itu akibat restan pelarangan dulu. Beberapa judul yang saya cari itu masih bersembunyi. Dan saya masih memasang mata dan telinga untuknya. Saya akan terus cari di setiap pelosok. Ini sebuah bentuk penghargaan atas sebuah kata yang pernah Pram ajarkan pada saya. Sebuah kata yang menjadi modal saya untuk menghadapi hidup dan kehidupan. Sebuah kata yang harusnya tertulis di dinding-dinding tempat tidur kita. Kata yang harus tertulis dengan tinta emas. Kata itu adalah: Keberanian!
Akhirnya, ijinkan saya untuk mengutip salah satu tulisan Pram:
"Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?"
Salam Dari Benteng Betawi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H