Untuk mentor filsafat saya: Dudi Iman Hartono
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid 1; persinggungan pertama saya dengan Pram. Itu terjadi sekitar  pertengahan 1994. Kawan yang itu juga yang mengenalkannya. Kawan sekaligus mentor filsafat saya. Dia membawa buku bersampul coklat itu ke rumah. Waktu itu saya masih di Kampung asal saya. Belum lagi hijrah ke Tangerang.
Satu ketika saya pernah diajak ke Jakarta oleh kawan saya ini. Kemudian dia mengajak saya ke daerah Cikini. Tepatnya: TIM (Taman Ismail Marzuki). Dia disana janji ketemu dengan seseorang. Sebut saja namanya: Kendro. Kami datang lebih awal. Sambil menunggu Kendro datang, kami memesan siomay di warung-warung makan yang banyak bertebaran disitu. Pas mau bayar dan menanyakan berapa, kaget juga saya dengar harganya. Harga satu porsinya hampir lima kali harga satu porsi siomay di kampung. Â Luar biasa memang harga makanan di Ibukota. Termasuk harga-harga barang lainnya.
Ada sekitar sepemakanan siomay, Kendro pun datang. Tampak dia membawa tas punggung. Kemudian dia mengeluarkan bungkusan plastik berwarna hitam. Dia buka sekilas bungkusan plastik hitam itu dan diarahkan pada pandangan  kawan saya. Saya sempat mencuri lihat: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Buku apa itu pikir saya ketika itu.
Bungkusan plastik hitam itu ditutup dengan tergesa oleh Kendro. Seolah-oleh benda itu membawa wabah yang menular. Kemudian dia serahkan pada kawan saya. Kawan saya mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan kertas dua puluh ribuan. Kemudian menyerahkan pada Kendro. Tanpa menghitung, Kendro langsung memasukan lembaran uang itu ke saku celana jeansnya.
Setelah mengucapkan beberapa kalimat, yang saya tahu itu hanya sekadar basa-basi, Kendro meninggalkan kami berdua. Hanya dalam hitungan beberapa puluh detik punggung Kendro sudah tak terlihat pandangan kami lagi. Hilang tertelan tembok sisi barat Planetarium.
Kawan saya menjelaskan seperti itulah kalau dia hunting buku Pram. Untuk melahap karya-karya Pram memang dibutuhkan usaha yang ekstra. Tak hanya cukup punya uang. Keberanian harus ada di hati. Karena resikonya terlalu besar. Konon saya pernah dengar ada satu dua mahasiswa dari Jogja dimasukkan ke bui gara-gara dalam tasnya kedapatan membawa beberapa buku Pram.
Tapi itu sebanding dengan apa yang kita dapat. Pram memang luar biasa. Karya-karyanya seperti berjiwa. Ada sesuatu yang hidup disana ketika kita bergumul dengan rangkaian kata-katanya. Ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada sebuah kekuatan yang menggerakan. Entah itu apa namanya. Saya hanya curiga bahwa Pram menulis dari hati. Bukan dari pikiran dia. Makanya karya-karyanya terasa hidup ketika saya membacanya.
Begitulah transaksi buku-buku Pram yang sempat terekam oleh saya. Â Jadi seperti transaksi narkoba. Atau mungkin dianggap lebih berbahaya dari narkoba.
Lain dulu lain sekarang. Kalau sekarang kita dengan mudah menjumpai buku-buku Pram di toko-toko buku di Ibukota. Gampang sekarang kalau mau mencarinya. Setiap saya jalan-jalan ke Gramedia pun buku-buku Pram banyak berjejer disana. Dan, tidak terlalu kaget juga, buku-buku itu ditempatkan di rak bestseller.
Dan buku yang kawan saya beli ketika itu adalah Tetralogi. Sebuah mahakarya Pram yang lahir di Pulau Buru. Karya yang mengguncangkan jagat sastra Indonesia. Bahkan dunia. Menurut desas desus yang beredar, Pram malah sempat akan diganjar Hadiah Nobel berkat Tetralogi itu.