Di kampung asal saya, mungkin hampir sama dengan kampung lain yang ada di Indonesia, beberapa dari kami masih ada yang BAB (Buang Air Besar) di jamban pinggir kali. Deretan jamban pun dibuat secara permanen menggunakan batu bata. Ada lima jamban jumlahnya. Dibuat secara berderet menghadap jalan kecil.
Ada sensasi tersendiri jika buang hajat di situ. Sambil menghisap kretek kita bisa melihat pemandangan sekitar. Karena jamban itu dibuat selutut, jadi kepala dan bagian atas badan kita terlihat dan juga bisa melihat sekeliling. Jika sudah jongkok di jamban, kami terasa seperti naik perahu. Karena di bawah kami ada air kali yang mengalir. Mengalir sampai jauh. Akhirnya ke laut. Dan jika sudah 'keluar' kemudian nyemplung ke air, suaranya itu loh yang engga nahan. Ada kepuasan yang tidak bisa dilukiskan kata-kata.
Kalau kebetulan ada yang lewat di jalan kecil itu, entah kenalan kita yang mau pergi ke pasar atau pulang dari berbelanja sayur dari pasar, kadang kita memerlukan menyapa. Atau hanya untuk sekedar say hello.
Jamban ini bukan hanya sekedar untuk buang hajat. Lebih dari itu. Jamban menjadi tempat bertemunya antara tetangga dengan tetangga lain. Bukan hanya bertemu, tetapi komunikasi antar warga pun kerap terjadi. Setiap buang hajat mereka memerlukan waktu sekitar 15 menit - 25 menit.
Dengan waktu selama itu, mereka bisa ngobrol tentang: dagangan mereka di pasar, sekolah anak mereka, genteng rumah yang bocor, tentang hajatan Pa Haji minggu kemarin atau masalah pemilihan kepala desa. Bahkan tak jarang juga mereka membicarakan politik negara.
Singkatnya jamban itu bagi kami menjadi salah satu tempat untuk bersosialisasi antar warga. Warga yang tidak mempunyai WC di rumah. Warga yang notabene tidak kaya. Karena kalau kaya, atau paling tidak ada kelebihan rejeki, mungkin mereka sudah membuat WC di rumah.
Itulah gambaran jamban di tempat kami sampai tadi siang. Ya, sampai tadi siang.
Berita dari seorang kawan di kampung merontokan semua kenangan akan jamban kami. Katanya baru saja terjadi pengerukan di sepanjang pinggir kali kami. Dan jamban kami pun menjadi korban. Dibongkar habis. Ini katanya program pemda.Â
Kemudian saya mencecar pada kawan saya  dengan pertanyaan, karena dia yang ada di kampung saat ini.
" Nanti itu warga kalau BAB gimana?"
Dia pun menjawab:
" Ya, warga nanti kalau BAB dimasukin ke kantong plastik."
Saya jadi teringat sejarah di London. Pada 1371 dibuat UU (Undang-Undang) yang berbunyi
"Orang-orang yang membuang kotoran dari jendela, harus membayar denda empat shilling ".
Namun, masih ada orang-orang yang diam-diam membuang kotoran. Itu bukan hanya satu, tapi semua orang membuang tinja tanpa memperhatikan aturan yang ada. Jadi, ketika orang sedang berjalan santai di kota London, jangan heran jika tiba-tiba ada kotoran jatuh dari langit.
Alasannya adalah bahwa London kota besar. Dari pertama, orang berbondong-bondong ke London untuk mencari pekerjaan. Akibatnya, tidak ada lahan lagi untuk berlindung. Untuk memperbaiki ini, dibangun bangunan bertingkat tinggi di kota London (rumah susun).
Pada saat itu, toilet tanpa air mengalir. Jadi, orang-orang London menggunakan ruang pot dengan kursi. Tinja ditampung dalam pispot, kemudian orang-orang harus membawa pispot keluar gedung untuk membuang tinja ke parit atau ke tempat-tempat lain yang diinginkan.Â
Banyak penduduk flat bangunan yang tinggal di lantai atas mengeluh karena setiap hari mereka harus keluar dari gedung, naik turun tangga untuk membuang isi pispot. Terkadang isi pispot terlalu berat, kadang-kadang ada yang sengaja menjatuhkan isi pispot di tangga atau lantai gedung. Karena bosan dan repot, akhirnya mereka membuang isi pispot lewat jendela.
Mungkinkah sejarah di London ratusan tahun yang lalu akan terjadi di kampung kami?
Orang nanti tiap pagi atau malam hari ketika yang lain sudah tertidur lelap akan membuang kantong plastik berisi tinja ke jalan-jalan. Sehingga mungkin sepanjang jalan H. Iksan sampai ke arah selatan akan penuh dengan kantong-kantong plastik itu.
Atau saya agak mengkhawatirkan ada gerakan dari warga berupa aksi: ramai-ramai BAB di jalan. Sebagai bentuk penolakan terhadap aksi dari pemda. Mudah-mudahan saja ini tidak terjadi.
Kini jamban kami sudah tidak ada lagi.
Salam dari Benteng Betawi.
Â
Oleh: Ade Imam Julipar
29-11-17