Dimensi kearifan lokak menurut Ife (2002) terbagi ke dalam tiga dimensi. Pertama, aspek pengetahuan lokal, yaitu masyarakat lokal selalu mempunyai pengetahuan lokal tentang lingkungan hidup. Di sini ditunjukkan bahwa kearifan lokal dapat membedakan antara sumber daya alam yang boleh dikonsumsi atau dibudidayakan dan  yang tidak boleh dikonsumsi atau dijadikan hiasan. Oleh karena itu, tidak ada eksploitasi besar-besaran.Â
Dimensi kedua adalah kapasitas lokal. Di sini keterampilan lokal digunakan sebagai keterampilan bertahan hidup. Aspek ini menjelaskan bahwa kearifan lokal memberikan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun dengan tujuan untuk diteruskan kepada generasi mendatang, baik sebagai warisan budaya berwujud (tangible legacy) maupun sebagai warisan budaya tidak berwujud (intangible Heritage).Â
Ketiga adalah aspek kepercayaan sumber daya lokal. Sumber daya daerah pada umumnya adalah sumber daya alam, yaitu sumber daya alam yang tidak terbarukan dan sumber daya alam terbarukan yang terdapat pada suatu wilayah tertentu. Dalam aspek ini kearifan lokal melalui adat istiadat berperan menjaga kelestariannya melalui pengaturan alam dan lingkungan hidup.Â
      Proses bela diri  berupa kearifan lokal merupakan wujud dan peran masyarakat dalam upaya menjaga potensi daerah aliran sungai yang menjadi penghidupan masyarakat pedesaan. Terdapat peran perlindungan lingkungan yang harus dilakukan oleh masyarakat lokal melalui kearifan ekonomi lokal.Â
Dengan kata lain, merupakan kegiatan yang fokus pada gerakan lingkungan hidup yang dikaitkan dengan kearifan lokal dan keyakinan masyarakat bahwa ada kekuatan  luar manusia yang bekerja dalam menjaga kelestarian lingkungan. Mengelola sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal justru menjamin kelestarian hutan itu sendiri. Hal ini tentu saja merupakan salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan.Â
     Menurut Ungirwalu (2016), penelitiannya menyelidiki hubungan antara kearifan lokal dan alam sebagai etnoekologi. Dikatakannya, ada enam bentuk etnoekologi  pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya buah hitam pada masyarakat adat Wandamen Papua: sumber daya lokal, pengetahuan lokal, nilai-nilai lokal, keterampilan lokal, pengetahuan lokal, dan pengambilan keputusan lokal. Mekanisme dan kohesi kelompok regional Ke- enam bentuk tersebut dapat dikatakan merupakan adaptasi budaya lokal terhadap lingkungan. Sumber daya lokal dapat  dikatakan sebagai kekayaan alam dari suatu lingkungan tertentu.Â
Masyarakat adat cenderung hidup dengan melakukan adaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya, sehingga sumber daya alam lokal yang ada merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan biologisnya. Menurut Ungirwalu (2016) masyarakat Wandamen sendiri menjadikan buah hitam sebagai sumber makanan, selain sagu, umbi-umbian, dan sumber makanan pokok lainnya secara turun temurun. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pengetahuan sumber daya alam lokal harus menjadi bagian dalam kegiatan pemberdayaan  masyarakat.
     Selain sumber daya lokal, pengetahuan lokal, nilai lokal, keterampilan lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan solidaritas kelompok lokal menjadi unsur penting dalam pemberdayaan. Hal-hal di atas merupakan modal sosial yang ada di masyarakat lokal, selain modal sumber daya alam. Modal sosial masyarakat lokal sendiri memiliki dua sisi, yaitu sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah modal sosial yang dituangkan ke dalam adat istiadat dapat menjaga manusia dan lingkungan alamnya. Adapun sisi negatifnya, yaitu dapat menjadi hambatan dalam diseminasi ide dan pemikiran maju.
     Pengembangan masyarakat berbasis wawasan ekologi dapat memberikan perspektif baru terhadap model dan pola pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat tidak serta merta harus dikaitkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataannya, ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menimbulkan dampak negatif seperti distorsi dan kerusakan lingkungan.Â
Menurut Mudhoffir (2011: 94), ilmu pengetahuan merupakan sumber ancaman terhadap lingkungan akibat kehadiran industri dan  perkembangan  rekayasa genetika yang tidak terkendali. Namun pada saat yang sama, ilmu pengetahuan adalah cara untuk mengatasi ancaman ekologis ini. Dengan kata lain ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai manfaat dan positif bagi pertumbuhan  dan kemajuan perekonomian daerah. Di sisi lain, hal tersebut juga dapat memberikan dampak negatif.
     Dalam hal ini pemberdayaan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan pengembangan model-model baru yang tidak sekedar berfokus pada kesejahteraan manusia, namun memerlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu menjaga kelestarian lingkungan alam yang ada. Hal ini tentunya membutuhkan proses yang panjang karena mungkin memerlukan riset yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit.Â
Namun proses panjang tersebut pasti akan membuahkan hasil dalam hal menjaga alam dan lingkungan melalui pengembangan model ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan. Hal ini mirip dengan proses ilmiah yang dilakukan  Marino untuk membersihkan air danau yang tercemar di Peru pada tahun 2010.Â
Dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, Marino telah mengembangkan alat penjernih air yang terbuat dari 100 bahan organik dan  aman dikonsumsi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Selain itu, beberapa peneliti di Jepang telah mengembangkan  arang bambu dan membuktikannya dapat digunakan dalam berbagai aplikasi, antara lain sebagai media filter untuk penjernihan air, produk kecantikan, pewangi lemari es (penghilang bau), bahkan bahan makanan.
     Sebelum berkembangnya teknologi modern, industrialisasi dan pertumbuhan penduduk yang pesat, sampah bukanlah suatu masalah. Perlengkapan rumah tangga terbuat dari bahan yang mudah terurai dan organik, seperti mangkuk dan piring yang terbuat dari kayu atau tempurung kelapa, wadah sake yang terbuat dari potongan bambu, atau kemasan makanan yang terbuat dari bahan ramah lingkungan. Selain bersifat biodegradable, beberapa perangkat ini dapat digunakan berkali-kali, tidak hanya sekali, sehingga limbahnya tidak menimbulkan masalah bagi lingkungan. Namun seiring berkembangnya teknologi modern, industrialisasi, dan pertumbuhan penduduk yang pesat, muncul permasalahan baru: sampah.Â
Wardi (2011: 168) menyatakan bahwa  pengelolaan sampah sudah dilakukan di Bali sejak zaman dahulu. Dia mengatakan sampah organik  secara tradisional dibuang sebagai pakan babi atau pupuk hijau, dan beberapa orang membakar sampah tersebut. Selain itu, pelataran Bali biasanya terbagi menjadi tiga bagian atau tiga mandala, yaitu mandala induk, mandala madhya, dan  mandala nista. Ruas Nistamandala merupakan lahan pertanian paling hilir dan biasanya digunakan sebagai tempat pembuangan limbah, pemeliharaan ternak, serta budidaya buah-buahan dan berbagai jenis pohon yang digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan.
     Abdoellah (2017: 113)  mengutip Soemarwoto (1984) dan menyatakan bahwa sistem agroforestri tradisional seperti sistem pekarangan dan kebun tar banyak ditemukan di Jawa Barat. Pernyataan tersebut juga disampaikan oleh Terra (1953) dan Wiersum (1982) dalam Abdoellah (2017: 113) bahwa kedua sistem ini telah  lama dipraktikkan secara lintas generasi. Lebih lanjut, kedua sistem ini dinilai berpotensi mengatasi penurunan kualitas lingkungan yang terus terjadi. Selain itu, sistem ini juga terkait dengan ekosistem pedesaan yang memiliki beragam fungsi: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Abdoellah (2017) menyatakan bahwa  fungsi ekonomi sistem agroforestri di pedesaan  Jawa Barat tidak hanya menghasilkan pangan tetapi juga memberikan sumber pendapatan bagi rumah tangga. Selain itu, lahan pertanian dan kebun Tarun juga berfungsi sebagai sumber kayu bakar sehingga mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan alam. Selain fungsi ekonomi, peternakan dan kebun Tarn juga mempunyai fungsi sosial.  Hal ini terlihat dari kebiasaan  berbagi antar masyarakat. Masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah cenderung memanfaatkan dedaunan, ranting, dan ranting yang jatuh di kebun masyarakat yang ternoda sebagai kayu bakar tanpa mendapat izin dari pemiliknya. Atau Anda bisa menikmati tanaman obat dan buah-buahan bersama-sama.
    Selain itu,  sistem agroforestri tradisional juga dikatakan memiliki fungsi ekologis seperti menjaga kesuburan tanah, mengendalikan erosi, melindungi daerah aliran sungai secara umum, dan menjaga iklim  mikro. Pesatnya perkembangan teknologi modern telah menghasilkan sampah yang sulit terurai. Terlebih lagi, industrialisasi menciptakan sampah baru yang  tidak dapat terurai. Selain itu, limbah kimia juga mencemari daerah aliran sungai (DAS) sehingga menyebabkan penurunan kualitas air. Hal ini juga didukung oleh pertumbuhan populasi yang pesat, dengan sedikitnya lahan dan rumah yang belum dikembangkan yang saling bergerombol. Namun permasalahan ini sama sekali tidak sulit untuk diatasi dan ditangani. Misalnya saja yang dilakukan YPBB Bandung dan Bank Sampah Sungai Cisadane untuk membantu pembuangan sampah rumah tangga. Dalam pengelolaan programnya, mereka memadukan konsep kearifan lokal dengan kreativitas dalam pengelolaan sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H