Mohon tunggu...
Ade Hidayat
Ade Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Membaca - Mengajar - Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik dan Kehaluan di Akar Rumput

21 September 2024   20:32 Diperbarui: 21 September 2024   20:55 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sumber: The Conversation

Tulisan ini berisi serangkaian kehaluan yang diyakini oleh akar rumput berkait kontestasi politik kita.

Yang namanya kehaluan, tentu saja merupakan persepsi salah, yang bisa terjadi karena kesengajaan atau karena kekurangmengertian.

Kehaluan ini umumnya diungkapkan sebagai opini publik, yang diterima begitu saja. Ngerinya, karena kehaluan ini telah menjadi semacam opini publik, maka kehaluan bisa berpotensi menjadi "kebenaran semu" yang menyesatkan dan tidak sehat bagi kehidupan demokrasi kita.

Karena itu saya merasa perlu mencatat beberapa di antaranya. Paling tidak catatan ini bisa berguna untuk saya pribadi, atau bagi para pembaca yang mau sedikit meluangkan waktu untuk bertanya: benarkah begitu?

Sebelum Anda memutuskan untuk membaca tulisan ini, saya ingin Anda mengetahui bahwa apa yang saya tulis di sini, pertama, ialah semata hasil pikiran dari pengalaman pribadi saya selama periode pilpres hingga awal pilkada 2024. Jadi persepsi berlawanan dari Anda sangat mungkin sekali.

Selama periode itu, saya ngobrol banyak dengan sejumlah orang di akar rumput mengenai persepsi mereka tengang politik (khususnya pemilu), baik dari kalangan timses kampung, simpatisan, sampai masyarakat yang, bahkan tidak mengerti cara mencoblos di bilik suara.

Kedua, tulisan ini saya buat untuk maksud satire. Jadi kalau Anda tidak tahan dengan ungkapan-ungkapan yang dibuat untuk tujuan sesambat, sebaiknya Anda klik tombol kembali sekarang juga!

Baik, inilah beberapa kehaluan akar rumput tentang politik yang berusaha saya deskripsikan.

Politisi Bak Juru Selamat
Sejak kapan politisi mengemban tugas Nabi, mengantar manusia ke lembah keselamatan? Tidak pernah. Politisi bukanlah Nabi yang mengemban misi membawa manusia dari gelap menuju terang.

Politisi hanyalah sekelompok manusia biasa, yang kebetulan diberikan sumber daya untuk berani mengajukan diri menjadi wakil, pemimpin, atau sebagainya.

Politisi sama seperti kita juga: punya nafsunya sendiri, punya perut yang harus diisi, dan punya keluarga yang harus diselamatkan lebih dulu.

Sebagian orang di akar rumput--kalau bukan kebanyakan--menganggap politisi yang mencalonkan diri bagaikan matahari yang bakal memberikan energi kehidupan.

Pilihlah dia, kita akan sejahtera. Kalau tidak pilih dia, kita bakal sengsara. Begitu kira-kira persepsi yang kerap dipakai akar rumput untuk mendukung pilihannya.

Padahal, politisi itu tidak berdiri sendiri. Mereka disokong oleh segenap kepentingan di baliknya. Termasuk parpol dan penyandang dana. Kalau mereka terpilih, yang disejahterakan lebih dulu adalah yang berdiri di baliknya. Bukan akar rumput.

Jadi, politisi bukanlah Nabi. Mereka hanya manusia biasa yang memiliki nafsu, perut, keluarga, dan lingkaran pertemanan, sama seperti kita. Maka, mereka bukanlah juru selamat.

Lagipula, bukankah dalam tradisi ekonomi-politik liberal sekarang ini, yang berhasil adalah mereka yang bekerja dengan tangannya sendiri. Keberhasilan tidak dianugerahkan oleh politisi, melainkan kita gapai sendiri.

Ketiban Duren Pembangunan
Ketika suatu daerah berhasil memenangkan satu atau sepasang politisi dalam sebuah pemilu, maka daerah itu bakal "ketiban duren" dalam bentuk pembangunan. Dan, ini kesesatan yang menjengkelkan.

Opini sesat semacam ini biasanya digelontorkan oleh timses atau simpatisan parpol di akar rumput.

"Kalau partai gue menang, nanti kita rekom ke Pak Anu buat benerin got atau ngaspal jalan di lingkungan elu." Begitu kira-kira sebuah kehaluan diciptakan.

Orang yang tidak mau berpikir akan menerima begitu saja janji manis itu. Mereka akan mengira kalau si politisilah yang bakal membangun daerah mereka manakala terpilih.

Tak peduli kalau sebenarnya politisi itu kelak memakai uang pajak mereka untuk membelikan semen, pasir, atau aspal untuk merapikan lingkungan mereka.

Memang ada beberapa kasus, dalam hal percepatan tindakan perbaikan jalan, misalnya, perlu rekomendasi dari seorang politisi yang menjabat terlebih dulu.

Rahasia umumnya, para politisi itu biasanya memprioritaskan daerah yang menjadi lumbung suara mereka untuk direkomendasikan.

Berangkat dari cara berpikir begitu, jalas oknum politisi itu sudah salah kaprah dan kurang ajar. Mengapa? Karena sejatinya ketika menjabat, mereka bukanlah cuma milik kelompok anu atau kelompok itu saja, melainkan milik seluruh masyarakat.

Dan, disorientasi semacam ini yang memang kerap digunakan oleh politisi licik untuk meraup suara.

Malangnya, masyarakat akar rumput seakan-akan malah mewajarkan hal tersebut. Biasanya di tingkat RT atau RW akan memilih satu atau sepasang politisi dalam pemilu untuk didukung.

Harapannya, jika jagoan mereka menang, mereka akan gembira karena itu artinya got mereka tidak mampet lagi dan jalan mereka bisa diaspal.

Padahal, bukankah sudah tanggung jawab pemegang kebijakan untuk menyelesaikan problem, termasuk merapikan infrastruktur hingga ke tingkat daerah.

Itulah sedikit hal yang bisa saya catat mengenai kehaluan akar rumput terhadap kontestasi politik yang datang lima tahunan ke dalam periuk alam pikiran mereka.

Bagi kita yang mau berpikir, sebenarnya pikiran-pikiran halu semacam itu menandakan gejala yang lumayan mengkhawatirkan.

Bisakah kita merawat dan mengawasi demokrasi dengan pikiran-pikiran halu semacam itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun