Memang ada beberapa kasus, dalam hal percepatan tindakan perbaikan jalan, misalnya, perlu rekomendasi dari seorang politisi yang menjabat terlebih dulu.
Rahasia umumnya, para politisi itu biasanya memprioritaskan daerah yang menjadi lumbung suara mereka untuk direkomendasikan.
Berangkat dari cara berpikir begitu, jalas oknum politisi itu sudah salah kaprah dan kurang ajar. Mengapa? Karena sejatinya ketika menjabat, mereka bukanlah cuma milik kelompok anu atau kelompok itu saja, melainkan milik seluruh masyarakat.
Dan, disorientasi semacam ini yang memang kerap digunakan oleh politisi licik untuk meraup suara.
Malangnya, masyarakat akar rumput seakan-akan malah mewajarkan hal tersebut. Biasanya di tingkat RT atau RW akan memilih satu atau sepasang politisi dalam pemilu untuk didukung.
Harapannya, jika jagoan mereka menang, mereka akan gembira karena itu artinya got mereka tidak mampet lagi dan jalan mereka bisa diaspal.
Padahal, bukankah sudah tanggung jawab pemegang kebijakan untuk menyelesaikan problem, termasuk merapikan infrastruktur hingga ke tingkat daerah.
Itulah sedikit hal yang bisa saya catat mengenai kehaluan akar rumput terhadap kontestasi politik yang datang lima tahunan ke dalam periuk alam pikiran mereka.
Bagi kita yang mau berpikir, sebenarnya pikiran-pikiran halu semacam itu menandakan gejala yang lumayan mengkhawatirkan.
Bisakah kita merawat dan mengawasi demokrasi dengan pikiran-pikiran halu semacam itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H