Politisi sama seperti kita juga: punya nafsunya sendiri, punya perut yang harus diisi, dan punya keluarga yang harus diselamatkan lebih dulu.
Sebagian orang di akar rumput--kalau bukan kebanyakan--menganggap politisi yang mencalonkan diri bagaikan matahari yang bakal memberikan energi kehidupan.
Pilihlah dia, kita akan sejahtera. Kalau tidak pilih dia, kita bakal sengsara. Begitu kira-kira persepsi yang kerap dipakai akar rumput untuk mendukung pilihannya.
Padahal, politisi itu tidak berdiri sendiri. Mereka disokong oleh segenap kepentingan di baliknya. Termasuk parpol dan penyandang dana. Kalau mereka terpilih, yang disejahterakan lebih dulu adalah yang berdiri di baliknya. Bukan akar rumput.
Jadi, politisi bukanlah Nabi. Mereka hanya manusia biasa yang memiliki nafsu, perut, keluarga, dan lingkaran pertemanan, sama seperti kita. Maka, mereka bukanlah juru selamat.
Lagipula, bukankah dalam tradisi ekonomi-politik liberal sekarang ini, yang berhasil adalah mereka yang bekerja dengan tangannya sendiri. Keberhasilan tidak dianugerahkan oleh politisi, melainkan kita gapai sendiri.
Ketiban Duren Pembangunan
Ketika suatu daerah berhasil memenangkan satu atau sepasang politisi dalam sebuah pemilu, maka daerah itu bakal "ketiban duren" dalam bentuk pembangunan. Dan, ini kesesatan yang menjengkelkan.
Opini sesat semacam ini biasanya digelontorkan oleh timses atau simpatisan parpol di akar rumput.
"Kalau partai gue menang, nanti kita rekom ke Pak Anu buat benerin got atau ngaspal jalan di lingkungan elu." Begitu kira-kira sebuah kehaluan diciptakan.
Orang yang tidak mau berpikir akan menerima begitu saja janji manis itu. Mereka akan mengira kalau si politisilah yang bakal membangun daerah mereka manakala terpilih.
Tak peduli kalau sebenarnya politisi itu kelak memakai uang pajak mereka untuk membelikan semen, pasir, atau aspal untuk merapikan lingkungan mereka.