Mohon tunggu...
Ade Hidayat
Ade Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Membaca - Mengajar - Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Garis Besar Pendidikan Anak di Rumah

6 Juli 2023   16:02 Diperbarui: 15 Juli 2023   03:45 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang tua, kebutuhan anak merupakan prioritas. Bahkan secara filosofis, setelah kelahirannya, anak menjadi pusat "tata surya" rumah tangga itu sendiri.

Sebab, setelah kelahiran si buah hati, perhatian "planet-planet" bernama Bapak dan Ibu hanya mengorbit kepadanya: mulai dari memerhatikan urusan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan tentu saja satu hal yang cukup pelik: pendidikannya.

Mendidik anak kandung itu mudah-mudah susah. Begitu kesimpulan yang kerap saya temukan dari para orang tua.

Dalam banyak kasus, pendidikan anak di rumah oleh orang tuanya, terkesan kontraproduktif dengan ideal-ideal yang dicita-citakan bersama. 

Sebagai guru, saya kerap mendengarkan keluhan dari orang tua, betapa mereka kesulitan, bahkan untuk hal-hal ringan seperti mengajak anak belajar atau berlatih. 

Meski begitu, kita bisa memahami kondisi tersebut. Sebab, orang tua kerap dihadapkan dengan motif emosional ketika mendidik anak. Kasihan, tidak tega, serta segala macam kondisi subyektif yang muncul dari dorongan perasaan sayang kepada anaknya.

Saya menyebut kondisi itu sebagai "disorientasi kasih sayang": sebuah ekspresi kasih sayang yang salah tempat dan membahayakan.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut, dan supaya orang tua bisa perlahan mengatasi problem tersebut, saya coba menyusun tiga hal konseptual bagaimana mendidik anak di rumah.

1. Sesuaikan Mindset

Pertanyaan pertama yang perlu diajukan oleh orang tua kepada dirinya sendiri adalah: apa itu anak?

Tentu saja dengan mudah kita menjawab kalau anak kita manusia, dan  dia adalah darah daging kita yang dititipkan Tuhan kepada kita sebagai orang tuanya.

Anak kita sama dengan kita. Dia juga manusia. Karena dia manusia, maka perlulah dia dididik.

Basis pendidikan manusia adalah proses komunikasi yang kompleks dan hidup. Maka penting bagi orang tua belajar mengenai komunikasi yang bukan saja efektif, tetapi juga baik.

Oleh karenanya, orang tua amat perlu menciptakan budaya komunikasi yang baik dan intens kepada anak-anaknya. Dalam sehari, setidaknya orang tua perlu menyediakan waktu untuk berdialog dengan anak.

Dialog yang baik adalah dialog yang disampaikan dengan lembut dan saling mengisi satu dengan lain. Artinya, dalam setiap nasihat atau permasalahan yang dibahas, orang tua perlu menanyakan pendapat, dan perasaan anaknya tentang hal tersebut, dengan lemah lembut.

Dengan begitu, anak-anak akan merasa dihargai, dan eksistensinya diakui. Dia akan merasa bahwa dirinya penting, dan pada akhirnya akan terbentuk pribadi yang kominikatif dan mau mendengar.

Pertanyaan kedua adalah: untuk apa saya melakukan ini (mendidik anak)?

Jika jawabannya adalah untuk kebaikan anak, maka visi itu perlu dipegang dengan penuh komitmen.

Ingat-ingatlah secara konsisten tujuan itu. Ketika perasaan tidak tega, kasihan, atau lelah, berhentilah sejenak dan buka kembali laci memori yang berisi jawaban atas pertanyaan di atas.

Bagian ini akan mengurangi disorientasi kasih sayang, karena sisi emosional kita dapat dikoreksi oleh logika.

Jika kita tetap berkomitmen bahwa mendidik adalah demi kebaikan anak, anak akan memahami bahwa orang tuanya memiliki prinsip dan tidak "lain pagi lain siang" ketika sedang mendidik. Pada gilirannya, konsistensi orang tua akan membangun disiplin anak.

2. Tegakkan Aspek-Aspek Prinsip

Ilustrasi Keluarga | Sumber: pendidik.co.id
Ilustrasi Keluarga | Sumber: pendidik.co.id

Pendidikan di rumah, meski memiliki kaitan dengan pendidikan di sekolah, juga memiliki perbedaan dalam hal penekanan.

Orang tua perlu menentukan hal-hal prinsip apa yang mesti dipahami dan dihayati oleh anak.

Saya pribadi meyakini bahwa prinsip pendidikan di rumah adalah dalam ranah pembentukan karakter. Sebab, secara faktual, untuk pertama kalinya kepribadian anak terbentuk secara alami di dalam rumah, melalui hubungan verbal maupun nonverbal dengan anggota keluarganya, terutama orang tua.

Mengajarkan nilai-nilai dan memberi contoh sikap karakter seperti soleh/solehah, lemah lembut, sopan, jujur, bertanggung jawab, bekerja keras, dan memiliki motivasi adalah hal penting yang tidak boleh dilewati oleh orang tua dalam pendidikan anak di rumah. 

Orang tua, misalnya, bisa saja mentolerir kenyataan bahwa anak mendapatkan nilai matematika yang jelek. Namun, sebaiknya, orang tua tidak bisa menerima jika anak senang bermalas-malasan.

Sederhananya kita bisa katakan seperti ini, "Tidak masalah nilai matematika Adek jelek. Asalkan itu hasil kejujuran, dan Adek tidak menyerah serta terus berusaha memperbaikinya. Belajarlah lebih rajin lagi, dan jangan bosan membaca."

Dialog seperti di atas, akan membekas di dalam hati anak. Dan, pada akhirnya dapat membentuk kepribadian dan mindset yang benar tentang nilai dan usaha.

3. Tolerir Aspek-Aspek Non-Prinsip

Jika aspek prinsip adalah sesuatu yang tidak bisa ditoleransi, maka aspek-aspek non-prinsip adalah segala hal yang bisa dimaklumi. Dan, biasanya bersifat hiburan.

Misalnya, permintaan anak untuk sekadar bermain smartphone di luar jam belajar, atau membeli barang yang dia sukai.

Aspek-aspek non-prinsip ini mesti tetap diperhatikan dan disediakan, sehingga tidak bisa dihilangkan sama sekali. Meski begitu, aspek ini mesti ditinjau dan dikontrol dari aspek prinsip, supaya tidak kebablasan.

Bermain smartphone, misalnya, merupakan realitas yang tidak bisa dikesampingkan sama sekali dewasa ini. Karena sepanjang hari anak-anak kita selalu bersinggungan dengan teknologi.

Menutup rapat-rapat akses anak kepada teknologi sama saja menolak realitas. Ini akan membentuk kepribadian anak menjadi terisolasi dengan kenyataan yang tengah dia hadapi. 

Akan tetapi, orang tua perlu memberikan batasan yang tegas. Katakan kepada anak bahwa bermain smartphone adalah selingan dari aktivitas kita. Karenanya, dia tidak boleh mengambil semua waktu yang kita miliki.

Saya juga lebih setuju jika kita lebih memberikan edukasi tentang manfaat smartphone ketimbang membatasinya secara total. Misalnya, kenalkan kepada anak beberapa aplikasi atau saluran yang bisa digunakan untuk membantunya belajar.

Tetapi, jangan lupa, toleransi yang kebablasan tentu akan berujung buruk. Karenanya, variasikanlah kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan bersama anak. Misalnya berkunjung ke rumah tetangga, bermain di taman, atau lain sebagainya.

Itulah tiga hal konseptual yang perlu dipertimbangkan oleh orang tua dalam pendidikan anak di rumah.

Aplikasinya tentu bergantung dari konteks yang dihadapi oleh masing-masing orang tua. Sebab, mendidik anak tidak seperti rumus matematika. Anak-anak adalah karya seni yang juga perlu didekati dengan pendekatan artistik (tidak kaku-kaku banget/linier).

Semoga kita semua berhasil mendidik anak-anak kita di rumah. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun