Misalnya, permintaan anak untuk sekadar bermain smartphone di luar jam belajar, atau membeli barang yang dia sukai.
Aspek-aspek non-prinsip ini mesti tetap diperhatikan dan disediakan, sehingga tidak bisa dihilangkan sama sekali. Meski begitu, aspek ini mesti ditinjau dan dikontrol dari aspek prinsip, supaya tidak kebablasan.
Bermain smartphone, misalnya, merupakan realitas yang tidak bisa dikesampingkan sama sekali dewasa ini. Karena sepanjang hari anak-anak kita selalu bersinggungan dengan teknologi.
Menutup rapat-rapat akses anak kepada teknologi sama saja menolak realitas. Ini akan membentuk kepribadian anak menjadi terisolasi dengan kenyataan yang tengah dia hadapi.Â
Akan tetapi, orang tua perlu memberikan batasan yang tegas. Katakan kepada anak bahwa bermain smartphone adalah selingan dari aktivitas kita. Karenanya, dia tidak boleh mengambil semua waktu yang kita miliki.
Saya juga lebih setuju jika kita lebih memberikan edukasi tentang manfaat smartphone ketimbang membatasinya secara total. Misalnya, kenalkan kepada anak beberapa aplikasi atau saluran yang bisa digunakan untuk membantunya belajar.
Tetapi, jangan lupa, toleransi yang kebablasan tentu akan berujung buruk. Karenanya, variasikanlah kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan bersama anak. Misalnya berkunjung ke rumah tetangga, bermain di taman, atau lain sebagainya.
Itulah tiga hal konseptual yang perlu dipertimbangkan oleh orang tua dalam pendidikan anak di rumah.
Aplikasinya tentu bergantung dari konteks yang dihadapi oleh masing-masing orang tua. Sebab, mendidik anak tidak seperti rumus matematika. Anak-anak adalah karya seni yang juga perlu didekati dengan pendekatan artistik (tidak kaku-kaku banget/linier).
Semoga kita semua berhasil mendidik anak-anak kita di rumah. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H