Mohon tunggu...
Ade Hidayat
Ade Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Membaca - Mengajar - Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berpikir Epistemik untuk Hadapi Pandemi

1 Juli 2021   09:11 Diperbarui: 1 Juli 2021   10:24 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ilmuwan mempelajari infeksi Covid-19 | SHUTTERSTOCK/Blue Planet Studio via Kompas.com

Angka penularan Covid-19 di Indonesia setiap harinya kian mengkhawatirkan. Kondisi riil rumah sakit-rumah sakit di banyak daerah juga kian memprihatinkan. Bahkan di Kota Bekasi, RSUD-nya sampai membangun tenda darurat di halaman parkir karena kamar rumah sakit penuh! (Lokadata.id, 26/06/2021).

Akibat dari fenomena membeludaknya pasien itu, layanan rumah sakit jadi tergopoh-gopoh. Pilu, hal tersebut berdapak pada banyaknya kasus kematian karena keterbatasan layanan medis, termasuk tidak tersedianya kamar isolasi dan ICU di rumah sakit (detik.com, 26/06/2021).

Menurut logika normal--dilengkapi dengan kemajuan teknologi komunikasi saat ini--mestinya fakta-fakta empiris tersebut turut membangun kesadaran masyarakat tentang keberadaan dan bahaya pendemi, serta berbanding lurus dengan sikap disiplin masyarakat mengenai pentingnya protokol kesehatan. Tetapi mengapa kian hari masyarakat kita kian abai dan cenderung menunjukkan sikap apatis terhadap keberadaan Covid-19 yang nyata dan berbahaya itu?

Menurut hemat penulis, penyebab utamanya adalah ketidakmampuan kita dalam menyikapi secara kritis informasi-informasi hoaks dan tidak berdasar yang tersebar di dunia maya mengenai Covid-19. Di beranda medsos, serta di WAG penulis sendiri, penulis mengamati betapa masifnya informasi hoaks diproduksi dan disebarkan begitu saja, tanpa melalui telaah kritis, baik redaksi, sumber, maupun validitasnya dalam logika.

Kenyataan itu juga yang dinilai mejadi penyebab pendemi tak kunjung selesai hingga saat ini.

Maka penting kiranya--dalam menghadapi pandemi ini--kita ketengahkan pula pendekatan epistemologis yang sederhana, khususnya dalam menyikapi informasi sebagai sumber kekuatan persepsi yang dapat membentuk sikap kita di tengah pandemi ini.

Sekilas tentang Epistemologi

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang ilmu pengetahuan manusia, yang meliputi asal, sifat, metode, serta batasan pengetahuan yang mampu dicapai oleh manusia (Bertens dalam Biyanto, 2015: 157). Ilmu pengetahuan sendiri merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehudupan manusia (Husaini, 2013: 27). Dengan begitu, sejatinya epistemologi merupakan perangkat penting yang tersedia bagi (fitrah) manusia untuk mengenal, mengungkapkan, serta memperoleh ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya.

Untuk menghadapi pandemi, epistemologi memiliki prinsip-prinsip umum yang dapat kita gunakan secara sederhana dalam menelaah informasi guna memperoleh ilmu pengetahuan (kebenaran) serta terhindar dari informasi palsu yang merugikan.

Kebenaran Empiris

Kebenaran empiris adalah kebenaran yang dapat diindera. Sesuatu dikatakan benar, jika faktanya dapat dijangkau oleh indera manusia, misalnya saja disaksikan secara langsung oleh mata.

Dalam kasus pandemi saat ini, Covid-19, baik objek virusnya, maupun dampaknya dengan jelas dapat kita saksikan melalui mata kepala kita. Dengan begitu, maka Covid-19 merupakan kebenaran yang nyata adanya.

Jadi menurut kebenaran empiris, narasi-narasi yang menyatakan kalau Covid-19 itu tidak ada adalah tertolak, dan karenanya dapat katakan salah.

Kebenaran Rasional

Selain dapat diindera (empiris) kebenaran suatu informasi juga dapat diukur berdasarkan akal (rasional). Apakah pandemi itu sesuatu yang tidak logis? Atau Covid-19 merupakan virus yang mustahil mengakibatkan kematian pada manusia?

Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menguji akal dan pemahaman kita, kita akan terdorong untuk membuktikan kebenaran tersebut.

Dalam konteks pandemi saat ini, Covid-19 merupakan fenomena yang masuk akal. Mengapa?

Pertama, tentu saja karena kebenaran ada dan berbahayanya Covid-19 telah dikonfirmasi oleh jutaan orang di seluruh dunia. Sebab mustahil suatu kebohongan diterima sebagai kebenaran oleh mayoritas orang di seluruh dunia.

Kedua, dengan menggunakan logika induktif, tiap-tiap kasus di seluruh dunia memiliki indikasi yang cenderung sama, seperti demam, hilang rasa dan penciuman, flu dan batuk, hingga gagal pernapasan. Ini memberikan kesimpulan umum bahwa Covid-19 memang benar adanya.

Korespondensi

Sederhananya, korespondensi adalah suatu kebenaran/pernyataan dikatakan benar jika bersesuaian dengan kenyataan. Misalnya, dikatakan kalau Monas berada di Jakarta. Maka pernyataan tersebut adalah kebenaran, sebab Monas memang berada di Jakarta. Sedangkan, jika dikatakan bahwa Jenderal Sudirman adalah Presiden pertama RI, maka pernyataan tersebut adalah salah. Sebab, faktanya Jenderal Sudirman merupakan Panglima TNI, bukan Presiden.

Nah, dalam konteks pandemi saat ini, penyataan bahwa pandemi Covid-19 adalah nyata dan berbahaya merupakan kebenaran, sebab ditinjau baik berdasarkan fakta empiris maupun logis, pandemi Covid-19 memang nyata dan berbahaya.

Kebenaran Wahyu (Husaini, et.al., 2013)

Kebenaran Wahyu merupakan kebenaran yang bersumber dari Wahyu Ilahi. Dalam filsafat Islam, kebenaran Wahyu ini ialah kebenaran yang bersumber dari al-Qur'an dan hadits Nabi Saw. Bisakah kita mengetahui kebenaran pandemi melalui kedua sumber ini? Tentu saja bisa.

Pandemi bukanlah fenomena baru dalam sejarah Islam. Hakim (2018) dalam penelitiannya berjudul Epidemi dalam Al-Quran menjelaskan sekurangnya terdapat 3 jenis epidemi yang diabadikan di dalam Al-Qur'an, yaitu virus sampar (Q.S. 11: 61-68), lintah air (Q.S. 2: 249), serta virus cacar (Q.S. 105: 3-5).

Selain dalam al-Qur'an, pandemi juga pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw. Dikutip dari islam.nu.or.id (01/07/2021), sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menjelaskan dengan amat mendetail bagaimana sabda Nabi Saw. dalam kaitan menghadapi wabah (tha'un). Hadits tersebut sebagai berikut:

"... Tiada seseorang hamba yang sedang tertimpa tha'un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha'un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid." (H.R. Bukhari).

Kebenaran Wahyu juga merefleksikan kebenaran berdasarkan informasi yang benar (khabar shadiq), serta subyek pembawa informasi tersebut (otoritatif) (Arif dalam Husaini et.al., 2013: 116-122). Suatu informasi mesti dikritisi melalui kedua sumber ini: apakah suatu informasi yang sampai kepada kita memiliki sumber dan referensi yang jelas; serta apakah informasi, pendapat, dsb. disampaikan oleh seorang yang mengerti betul (memiliki otoritas) mengenai informasi/pendapat yang disampaikannya tersebut.

Nah, dengan mengandalkan perangkat epistemologis di atas, kita dapat menyaring informasi mengenai Covid-19, sehingga kita dapat menentukan sikap apa yang bisa kita ambil dalam kaitan hidup di masa pandemi seperti saat ini.

Kita dapat menguji informasi tersebut secara sederhana malalui prinsip empiris, apakah informasi tersebut dapat dibenarkan oleh indera kita; melalui prinsip rasional, seberapa masuk akal informasi tersbut bagi kita; melalui prinsip korespondensi, apakah informasi tersebut bersesuaian dengan kenyataan yang ada; melalui Wahyu, bagaima al-Qur'an dan hadits Nabi Saw. mengajarkan kita cara menyikapi pandemi; serta malalui khabar shadiq dan otoritatatif, apakah informasi tersebut memiliki sumber yang bisa dipertanggungjawabkan serta disampaikan oleh orang yang memiliki otoritas (ahli di bidangnya).

Kenyataan bahwa sikap apatis--bahkan menganggap bahwa pandemi Covid-19 tidak nyata--oleh sebagian besar masyarakat kita merupakan satu faktor penyebab tingginya angka penularan Covid-19 di negeri kita tercinta hingga saat ini.

Semoga kita bersedia untuk sedikit rendah hati untuk berpikir epistemik, sebagaimana fitrah kita sebagai manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun