Dalam kasus pandemi saat ini, Covid-19, baik objek virusnya, maupun dampaknya dengan jelas dapat kita saksikan melalui mata kepala kita. Dengan begitu, maka Covid-19 merupakan kebenaran yang nyata adanya.
Jadi menurut kebenaran empiris, narasi-narasi yang menyatakan kalau Covid-19 itu tidak ada adalah tertolak, dan karenanya dapat katakan salah.
Kebenaran Rasional
Selain dapat diindera (empiris) kebenaran suatu informasi juga dapat diukur berdasarkan akal (rasional). Apakah pandemi itu sesuatu yang tidak logis? Atau Covid-19 merupakan virus yang mustahil mengakibatkan kematian pada manusia?
Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menguji akal dan pemahaman kita, kita akan terdorong untuk membuktikan kebenaran tersebut.
Dalam konteks pandemi saat ini, Covid-19 merupakan fenomena yang masuk akal. Mengapa?
Pertama, tentu saja karena kebenaran ada dan berbahayanya Covid-19 telah dikonfirmasi oleh jutaan orang di seluruh dunia. Sebab mustahil suatu kebohongan diterima sebagai kebenaran oleh mayoritas orang di seluruh dunia.
Kedua, dengan menggunakan logika induktif, tiap-tiap kasus di seluruh dunia memiliki indikasi yang cenderung sama, seperti demam, hilang rasa dan penciuman, flu dan batuk, hingga gagal pernapasan. Ini memberikan kesimpulan umum bahwa Covid-19 memang benar adanya.
Korespondensi
Sederhananya, korespondensi adalah suatu kebenaran/pernyataan dikatakan benar jika bersesuaian dengan kenyataan. Misalnya, dikatakan kalau Monas berada di Jakarta. Maka pernyataan tersebut adalah kebenaran, sebab Monas memang berada di Jakarta. Sedangkan, jika dikatakan bahwa Jenderal Sudirman adalah Presiden pertama RI, maka pernyataan tersebut adalah salah. Sebab, faktanya Jenderal Sudirman merupakan Panglima TNI, bukan Presiden.
Nah, dalam konteks pandemi saat ini, penyataan bahwa pandemi Covid-19 adalah nyata dan berbahaya merupakan kebenaran, sebab ditinjau baik berdasarkan fakta empiris maupun logis, pandemi Covid-19 memang nyata dan berbahaya.