Mohon tunggu...
Ade Herawati
Ade Herawati Mohon Tunggu... Administrasi - Penimba ilmu

Terbaik dalam segala hal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menaikan Iuran BPJS Agar Tidak Defisit Anggaran dengan Tidak Meninggalkan Kwalitas Layanan

13 Desember 2019   15:12 Diperbarui: 13 Desember 2019   17:01 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. Foto CNN Indonesia

Ringkasan Eksekutif.

Negara memiliki akuntabilitas untuk memberikan  jaminan kesehatan yang komprehensif,adil dan merata kepada seluruh masyarakat. Pemerintah telah  menunjuk PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan, yang kemudian berganti nama menjadi BPJS. Namun, niat mulia pemerintah ini masih menghadapi beberapa hambatan dalam pelaksanaannya.  BPJS mengalami defisit anggaran dalam menangani klaim terhadap rumah sakit dan klinik yang menerima pasien BPJS dikarenakan iuran yang diterima tidak sebanding dengan biaya klaim yang dibayarkan.

Pada tahun 2014, BPJSKes defisit mencapai Rp 1,9 triliun dan  terus berlanjut di tahun 2015  menjadi Rp 9.4 triliun. Sementara, pemerintah sudah campur tangan menyuntikkan dana sebesar Rp 5 triliunan . Agar BPJSKes dapat terus menyediakan pelayanan kesehatan, Sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri adalah Rp 8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai Rp 27,9 triliun. Dengan kata lain, claim rasio dari peserta mandiri ini mencapai 313 persen, sehingga sampai saat ini BPJSKes masih mengalami defisit yang sangat signifikan.

Kata Kunci: Defisit Anggaran, Peraturan Presiden 

Konteks dan Urgensi Masalah

Program JKN saat ini menghadapi tantangan karena adanya defisit yang terjadi sejak awal pelaksanaan karena besaran premi dinilai underprice. Selain itu, terjadi adverse selection pada peserta mandiri  mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, dan berhenti dari program atau tidak disiplin membayar iuran setelah sembuh.  

Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7 persen. Artinya, 46,3 persen dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Di sisi lain kampanye terhadap manfaat BPJS masih rendah serta masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa asuransi hukumnya haram. Sejak 2016 s.d 2018, besaran tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp 15 triliun. Defisit masih berlanjut dan di proyeksikan  menjadi Rp 32 triliun pada akhir 2019.

Hal ini bisa terjadi kemungkinan ada yang salah dalam tata kelola BPJS. Faktor lain yang dapat mempengaruhi defisit anggaran yaitu adanya penyakit katastopik yang diderita masyarakat, adanya oknum rumah sakit yang mengklaim tagihan terhadap BPJS yang dapat menggelembungkan tagihan yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan (markup), melakukan tindakan operasi terhadap pasien yang seharusnya tidak perlu dilakukan dan penggunaan alat-alat rumah sakit yang tidak perlu penggunaannya terhadap pasien serta laporan diagnosa pasien yang dilebihkan agar tagihan BPJS menjadi besar.

Selain masalah defisit anggaran, masalah utama lain yang di hadapi oleh BPJS adalah mutu pelayanan kesehatan yang belum optimal. Keterbatasan Faskes terkait dengan kekurangan jumlah tempat tidur, kurangnya jumlah/distribusi sumber daya tenaga medis khususnya dokter, serta kurangnya infrastruktur kesehatan. Dalam hal ini temasuk fasilitas kesehatan tingkat pertama, yakni RS, Klinik serta Puskesmas. Sering kita temui di lapangan, masyarakat harus rela antri dari jam 5 subuh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Kritik terhadap  kebijakan yang Ada

Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi defisit anggaran dengan mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 75/2019 peraturan tersebut berisi  perubahan Perpres 82 th 2018  tentang jaminan kesehatan mengenai iuran BPJS  yang di tegaskan dalam pasal 34 Perpres 75 th 2019 yaitu untuk kelas 1 sebesar 160.00,00/orang/bulan, kelas II sebesar 110.000,00/orang/bulan dan kelas III sebesar 42.000.00/orang/bulan. Selain itu, upaya pemerintah lainnya adalah dengan membuat Standar Operasional Procedure (SOP), pembuatan Clinical pathway, membentuk Satuan Tugas Anti Fraud, meninjau Paket Indonesia Case Base Group (INA CBGs) dan kapitasi yang berbasis kinerja bagi FKTP. Termasuk penataan data kepesertaan.

Pilihan Kebijakan

Upaya penyelesaian masalah defisit anggaran melalui kenaikan tarif, merupakan salah satu cara efektif. Namun, pemerintah perlu mengantisipasi kemungkinan konsekuensi yang tidak di harapkan;

Pertama, kenaikan tarif  iuran di seluruh kelas kecuali kelas 3 akan berdampak pada meningkatnya jumlah kepesertaan kelas 3. Hal ini perlu di antisipasi dengan adanya penetapan  kriteria kepesertaan dan benefit yang akan di dapat.  Setidaknya, dengan kenaikan iuran BPJSKes akan surplus menjadi Rp 11.59 triliun di tahun 2021. Untuk 2021, 2022 sampai 2023 proyeksi berdasarkan jumlah peserta dan utilisasi surplus Rp 11.59 triliun untuk 2021, Rp 8 triliun untuk 2022, dan 2023 surplus ke Rp 4.1 triliun.

Kedua, sesuai dengan kenaikan iuran tersebut, pemerintah dapat memperluas jangkauan rawat inap. Sebab, perluasan tersebut akan mampu menarik peserta BPJSKes agar lebih taat membayar iuran.

Ketiga, mutu asuhan  dan pasien safety di rumah sakit semakin meningkat. Sehingga tidak ada lagi temuan pasien di tolak dengan alasan kamar penuh. Serta ketersedian obat harus lengkap sesuai dengan kebijakan dan masuk data formularium BPJS.

Ke empat, data kepesertaan harus terintegrasi dengan baik agar pasien tidak perlu antri saat berobat.

Rekomendasi Kebijakan

Dengan adanya kebijakan pemerintah tentang kenaikan  iuran BPJS di harapkan :

Pertama, memperbanyak kelas III pada setiap rumah sakit untuk mengantisipasi perpindahan peserta kelas I dan II ke Kelas III manakala kelas III tidak di naikan.

Kedua, mendorong penetapan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan nasional berbasis pada peraturan perundang-undangan dan kenyamanan serta kepastian akan hak para peserta BPJS kesehatan.

Ketiga, melakukan pengawasan intensif terhadap peningkatan kualitas penyelenggaraan JKN oleh BPJS beserta dengan stake holder di lapangan (rumah sakit mitra) agar benar-benar melaksanakan tugas fungsinya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keempat, mendorong percepatan penyediaan dan penerapan teknologi informasi untuk mempermudah dan menertibkan kelengkapan dokumen, pendaftaran dan pelayanan kesehatan bagi peserta JKN-BPJS. Sehingga tidak harus antri berjam-jam.

Ade Herawati adalah mahasiswi Universitas Indonesia  dengan jurusan manajemen dan kepemimpinan keperawatan. Saat ini berkerja di Rumah Sakit Royal Progress dengan jabatan sebagai Koordinator /Supervisor Manajemen On Duty. Ade Herawati adalah ibu dari 5 orang anak dan  tinggal di perumahan Lembah Griya Citayam Blok D2 No 4 Kel Raga jaya   Kecamatan Bojong Kab Bogor 16920.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun