Setiap daerah di Indonesia tentu memiliki tradisi. Tradisi tumbuh seiring hadirnya manusia di planet bumi ini. Ia sudah menjadi bagian integral dari manusia itu sendiri.
Tradisi Potong Jari, Suku Dani, Papua. Tradisi Tiwah (mengantarkan arwah) Â Suku Dayak, Kalimantan. Tradisi Tabuik (mengenang meninggalnya cucu Nabi, Husein bin Ali yang dibunuh di Karbala), Sumatra Barat dan lain-lain.
Di daerah saya kabupaten Alor, juga mempunyai salah satu tradisi yang hingga kini masih di lestarikan---yaitu Tradisi "Pou Hari".
Apa itu "Pou Hari"?
Pou artinya memberi makan, Hari artinya sebutan untuk mahluk astral yang hidup dalam laut atau menjadi pengusaha laut. Jadi kita bisa menyebutkan bahwa Pou Hari adalah memberi makan/sajian untuk mahluk penguasa laut.
Nah, tradisi ini  berkaitan dengan asal muasal beberapa suku yang ada di kabupaten Alor. Suku Malolong, Suku Gei Lei, dan Suku mudiolang menurut kepercayaan orang-orang Alor, nenek moyang mereka berasal dari laut.
Orang-orang Alor yang bermukim di pesisir pantai terkhusus daerah Alor kecil percaya bahwa orang dari Suku Malolong  bisa berkomunikasi dengan mahluk yang mendiami lautan atau penguasa laut.
Sehingga ada kepercayaan yang berkembang dan menjadi sebuah keyakinan bahwa apabila ada orang Alor dari suku lain menyakiti orang dari suku Malolong maka ia bisa mendapatkan musibah ketika bepergian melewati lautan.
Kenapa demikian?
Kata orang-orang, apabila ada orang dari suku itu disakiti lalu ia menyimpan dendam, ia bisa saja pergi berbicara dengan penguasaan laut dan orang yang menyakiti itu bisa dihukum atau ditenggelamkan oleh penguasa laut ketika ia menyeberangi lautan.
Seram, bukan?
Kepercayaan itu tidak terjadi begitu saja tetapi itu sudah menjadi kearifan lokal. Ia berkembang melalui tutur dari generasi  ke generasi hingga kini.
Tatkala masih kecil saya pun mendengar cerita itu dari nenek saya. Ia bercita bahwa "Dahulu ketika Suku Malolong melakukan acara atau pesta adat, penghuni laut  diundang dan datang dan menghadiri acara atau pesta itu. Mereka naik ke daratan dan berwujud seperti manusia tetapi ada yang aneh pada wajah mereka, hidungnya  pesek mirip ikan tak seperti hidung manusia pada umumnya. Pun ketika penghuni lautan mengadakan  acara atau pesta, manusia juga diundang ke dalam lautan".
Namun, sayangnya hubungan saling menghadiri itu tak bertahan lama. Pasalnya ketidaktahuan salah seorang penduduk. Ketidaktahuan itu terjadi ketika seorang penduduk yang barangkali bukan orang dari suku Malolong  tidak sengaja menyakiti anak dari penghuni laut.Â
Bermula di sebuah pesta, salah seorang penduduk itu  mendengar  suara tangis bayi dari  dalam kain gendongan bayi yang digantung, karena peduli ia mendekati kain gendongan itu untuk menenangkan bayi yang menangis tersebut, tapi apa yang ia temukan dalam gantungan ternyata bukan bayi.Â
Akan tetapi seekor ikan merah yang ada di dalam gantungan itu. Karena ia menyangka itu adalah ikan, ia mengambil dan membawa ke dapur mau dibuat lauk.Â
Namun apa yang terjadi, seorang perempuan datang menghampirinya kemudian dengan nada marah berkata " Kenapa kamu mengambil bayi itu, dia anak saya!" Saya sudah beritahu ke yang lain bahwa apabila mendengar suara tangisan bayi dalam gendongan cukup digoyang saja untuk mendiamkan bayi itu, jangan melihat ke dalam gendongan.
Pendek kata akibat ulah salah seorang penduduk itu, penghuni laut marah dan meninggalkan pesta, kembali ke laut. Kini ketika ada pesta atau acara, penduduk laut tak lagi datang menghadiri, begitu sebaliknya.
***
Tradisi Pou Hari dilakukan Suku Malolong pada bulan-bukan tertentu. Sebelum ke laut Suku Malolong menyiapkan sajian seperti ayam, kambing, pinang, dan tembakau kemudian mereka melakukan doa dan ritual.Â
Setelah melakukan semua prosesi barulah sajian tersebut dibawa  menggunakan perahu ke laut untuk disajikan kepada penguasa laut.
Kalau kita menelisik akar dari tradisi ini, ia bukan sekadar ucapan syukur kepada laut yang telah memberi rezeki berupa ikan.
Sekadar pemberitahuan kepada Anda bahwa di Alor tepatnya di Alor kecil, pada bulan Mei dan September terjadi fenomena arus dingin, air laut seperti membeku sehingga ikan-ikan mati dan  terdampar ke bibir pantai. Nah, itu menjadi berkah bagi masyarakat di pesisir sehingga bulan-bulan itu bisa dikatakan bulan panen  ikan bagi masyarakat Alor.
Akan tetapi, saya  menduga tradisi Pou Hari merupakan sebuah cara yang dilakukan Suku Malolong untuk merekatkan kembali hubungan mereka dengan penghuni laut. Kenapa? Kalau kita dedah kata Pou dan Hari yang berarti memberi makan penguasa laut, maka dugaan saya sedikit mendekati benar, dan berkaitan dengan cerita keterpisahan kedua mahluk tersebut.
Kita tak bisa menafikan bahwa dunia ini tak hanya dihuni oleh mahluk yang nampak tetapi ada juga penghuni yang tak nampak oleh mata (gaib).Â
Tradisi ini juga kalau kita telisik hampir sama dengan tradisi Larung Sesaji yang dilakukan masyarakat Blitar di kawasan pantai selatan. Larung sesaji selain sebagai ungkapan syukur masyarakat kepada laut yang telah memberikan rezeki.Â
Ada  juga cerita yang berkembang di masyarakat bahwa Larung Sesaji merupakan bentuk persembahan kepada Mbok Ratu Mas yang berdiam di laut selatan. Ia juga dikatakan sebagai sosok yang memimpin keraton di alam gaib bawah laut, dan kemungkinan menurut masyarakat setempat  Mbok Ratu Mas adalah Kanjeng Ratu Kidul.
Bukankah kedua tradisi ini hampir ada kesamaan?
Kendati demikian saya berharap tradisi ini tetap terjaga dan lestari bukan hanya sampai pada generasi saya tetapi sampai kepada generasi  yang akan datang.
Kenapa tradisi ini penting untuk dilestarikan?
Menurut saya, pertama, tradisi Pou Hari tidak hanya sekadar cerita mistik hubungan antara mahluk laut dan manusia. Akan tetapi dalam tradisi ini juga memiliki makna filosofi-- bahwa dalam tradisi ini menunjukan hubungan yang erat antara manusia dan alam.Â
Kedua, tradisi  Pou hari memberi  kita pemahaman bahwa kita sebagai manusia bukan satu-satunya mahluk mendiami planet bumi ini. Akan tetapi ada juga mahluk yang lainnnya.Â
Jadi, tatkala kita mengambil sesuatu baik itu dari laut, hutan, dll. Atau tatkala kita diberikan rezeki oleh alam, kita pun harus sadar bahwa di dalam rezeki kita itu ada  hak makhluk lain, sehingga dengan menyisihkan sebagian kepada mahluk kita telah menciptakan harmoni di alam.Â
Ketiga, tradisi Pou Hari juga memberi pesan kepada kita bahwa jangan berlebih-lebihan, serakah dalam mengambil apa saja yang ada di alam;
dan yang terakhir tradisi Pou Hari mengajarkan bahwa selain kita manusia, ada juga mahluk lain di alam ini memiliki hak yang sama dengan kita, yakni hak untuk tetap hidup (lestari) dan juga mendapat keadilan.
Sebagai penutup tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa banyak rahasia di alam ini yang belum banyak diketahui manusia secara utuh. Maka dari ini setiap tanda ataupun pesan dari alam adalah bentuk komunikasi alam kepada kita.
Dan bukankah kita pun adalah bagian dari alam, jadi susah semestinya kita saling menjaga.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H