Indonesia butuh tertawa. Kenapa butuh tertawa? Saya pikir tertawa itu sesuatu yang alami pada diri, jadi tak harus “butuh” Untuk tertawa. Ya, kalau mau tertawa, ya tertawa saja.
Arti Kata butuh dalam KBBI: bu·tuh1 v, mem·bu·tuh·kan v sangat perlu menggunakan; memerlukan:
Dari pengertian di atas, saya memahami nya begini, Kata “butuh” Seakan menunjukan bahwa untuk tertawa “sangat perlu” Semacam Bantuan.
Semisal bantuan dari luar diri kita seperti melihat atau mendengar hal lucu, misalnya cerita humor, menonton lawak, melihat pentas badut dan hal lucu lainnya.
Akan tetapi, menurut hemat saya, tak semua tertawa harus “butuh” bantuan dari luar seperti yang sudah saya tuliskan diatas. Mengapa?
Saya mengatakan demikian karena saya pernah melihat ada seorang yang di anggap gila oleh orang-orang, ia senyum dan tertawa sendiri, tapi saya perhatikan tatapannya kosong. Saya membatin, apa yang membuatnya tertawa, padahal tak ada hal yang lucu didekatnya.
Lantas, ia tertawa karena apa? Apakah “butuh” Semacam Bantuan atau tertawanya itu lahir begitu saja.
Tak semua tertawa itu membahagiakan
Bagi saya, tak semua tertawa butuh bantuan dan tak semua tertawa itu membuat “bahagia” dan “membahagiakan”.
Mengapa? Kalau mau jujur, kebanyakan dari kita terlalu mudah menertawai orang lain, baik itu perilakunya, cara berbicaranya, cara berpakaian, kekurangan fisiknya dan lain sebagainya. Ya. Barangkali kita merasa bahagia karena itu, tapi tak setiap orang bahagia apabila ditertawai.
Mungkin dimata kita ia terlihat tersenyum karena tawa kita. Akan tetapi pernahkah, kita memeriksa hati orang yang kita tertawai, apakah ia tersinggung atau sedih?
Saya tak dan melarang orang untuk tertawa. Tertawa, ya. Tertawa saja. seperti yang sudah saya sebutkan di awal tertawa itu sesuatu yang alami pada diri.
Akan tetapi, Silakan tertawa kalau itu menyenangkan diri, dan menyenangkan orang lain. Yang penting sama-sama senang, tak ada ketersinggungan.
tepatnya seperti kata Charlie Chaplin:
Rasa sakitku bisa jadi alasan untuk orang lain tertawa, tapi tawaku tidak akan pernah jadi alasan untuk rasa sakit orang lain.
Kebenaran tak selalu datang dari suara terbanyak
Pernah suatu kita dosen di kampus, menegur kami karena tertawa waktu ia sedang mengajar. Kami tertawa bukan mengejeknya, tapi dalam penjelasan materi yang di sampaikan itu, lucu. Tapi karena asik tertawa tak henti- henti.
Dia menegur kami, dengan berkata begini, jangan seperti orang gila diluar sana, yang suka tertawa sendiri. Barangkali ia sengaja berkata demikian agar kami menghentikan tawa kami.
Saya pun iseng menimpali kata dosen tersebut dengan pertanyaan begini, dari mana bapak tahu kalau orang gila itu gila?
Jangan-jangan mereka yang kita anggap atau nilai gila selama ini, menganggap kita yang gila.
Dosen yang terlihat kaget atas pernyataan ku, lalu bertanya, mengapa begitu?
Kita kan, menganggap perlakuan atau tingkah mereka tidak seperti kebanyakan orang, dan kerena mereka berbeda dengan orang umumnya, maka mereka kita anggap aneh atau gila. Padahal Kita tak pernah berada diposisi mereka, Kita hanya menilai berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Seandainya kita bersama diposisi mereka, mungkin penilaian kita berbeda.
Sederhana gini. Ketika kita melihat orang yang kekurangan tangan, hanya ada satu tangan. kita mengatakan ia cacat. Karena tangannya hanya satu, tak seperti kita yang dua tangan. Akan tetapi coba kita renungkan. Seandainya Tuhan menciptakan seluruh manusia hanya bertangan satu, pasti kita menganggap yang bertangan dua itu cacat.
Itu dikarenakan ukuran kita dalam menilai sesuatu, berdasarkan hal yang banyak dilihat, atau dilakukan orang umumnya.
Pendeknya.Penilaian kita terhadap sesuatu tidak selalu seperti pada kenyataannya (atau sebagainya mana adanya). Penilaian kita tentu, tak lepas dari subyektivitas kita.
Apalagi menilai dengan standar umum, atau banyaknya kata orang.
***
Dengan itu, Saya tak yakin bahwa suara yang banyak itu sudah pasti suara kebenaran. Sebab suara kebenaran tak selalu datang dari yang banyak. Tapi muncul dari suara-suara yang di abaikan atau terpinggirkan.
Seperti suara para nabi yang berteriak dalam keramaian ikutlah jalan ini. Ini adalah jalan yang lurus. Tapi orang-orang banyak itu menertawainya, menganggap nya gila.
Kebenaran hadir mengusik kesenangan para pemuja dunia, ia datang dari pinggiran, melantunkan Irama-irama sunyi nan menggetarkan relung hati. Hanya hati yang terbuka yang menyebutnya penuh suka cita.
Kata KH. Ahmad Dahlan.
Kebenaran suatu hal tidaklah ditentukan oleh berapa banyaknya orang yang mempercayainya
Dengan demikian, janganlah terlalu mudah menilai sesuatu atau menertawakan sesuatu yang kita tak punya pengetahuan di dalamnya. Tawa maupun penilaian kita terhadap orang lain, tak selalu membahagiakan seperti yang kita pikirkan.
Namun, hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah belajarlah menertawai diri sendiri dan mengoreksi diri sendiri.
Seperti kata Friedrich Nietzsche: yang terberat adalah merendahkan dirimu sendiri, agar melukai kesombonganmu dan membiarkan kegilaan mu keluar agar mengejek kearifan mu.
Salam. Maaf Bila Ada Kata_kata yang salah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H