Pendeknya.Penilaian kita terhadap sesuatu tidak selalu seperti pada kenyataannya (atau sebagainya mana adanya). Penilaian kita tentu, tak lepas dari subyektivitas kita.
Apalagi menilai dengan standar umum, atau banyaknya kata orang.
***
Dengan itu, Saya tak yakin bahwa suara yang banyak itu sudah pasti suara kebenaran. Sebab suara kebenaran tak selalu datang dari yang banyak. Tapi muncul dari suara-suara  yang di abaikan atau terpinggirkan.
Seperti suara para nabi yang berteriak dalam keramaian ikutlah jalan ini. Ini adalah jalan yang lurus. Tapi orang-orang banyak itu menertawainya, menganggap nya gila.
Kebenaran hadir mengusik kesenangan para pemuja dunia,  ia datang dari pinggiran, melantunkan Irama-irama sunyi nan menggetarkan relung hati. Hanya hati yang terbuka yang menyebutnya  penuh suka cita.
Kata KH. Ahmad Dahlan.
Kebenaran suatu hal tidaklah ditentukan oleh berapa banyaknya orang yang mempercayainya
Dengan demikian, janganlah terlalu mudah menilai sesuatu atau menertawakan sesuatu yang kita tak punya pengetahuan di dalamnya. Tawa maupun penilaian kita terhadap orang lain, tak selalu membahagiakan seperti yang kita pikirkan.
Namun, hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah  belajarlah menertawai diri sendiri dan mengoreksi diri sendiri.
Seperti kata Friedrich Nietzsche: yang terberat adalah merendahkan dirimu sendiri, Â agar melukai kesombonganmu dan membiarkan kegilaan mu keluar agar mengejek kearifan mu.Â
Salam. Maaf Bila Ada Kata_kata yang salah