Saya tak dan melarang orang untuk tertawa. Tertawa, ya. Tertawa saja. seperti yang sudah saya sebutkan di awal tertawa itu sesuatu yang alami pada diri.
Akan tetapi, Silakan tertawa kalau itu menyenangkan diri, dan menyenangkan orang lain. Yang penting sama-sama senang, tak ada ketersinggungan.
tepatnya seperti kata Charlie Chaplin:
Rasa sakitku bisa jadi alasan untuk orang lain tertawa, tapi tawaku tidak akan pernah jadi alasan untuk rasa sakit orang lain.
Kebenaran tak selalu datang dari suara terbanyak
Pernah suatu kita dosen di kampus, menegur kami karena tertawa waktu ia sedang mengajar. Kami tertawa bukan mengejeknya, tapi dalam penjelasan materi yang di sampaikan itu, lucu. Tapi karena asik tertawa tak henti- henti.
Dia menegur kami, dengan berkata begini,  jangan seperti orang gila diluar sana, yang suka tertawa sendiri.  Barangkali  ia sengaja berkata demikian agar kami menghentikan tawa kami.
Saya pun iseng menimpali kata dosen tersebut dengan pertanyaan begini, dari mana bapak tahu kalau orang gila itu gila?
Jangan-jangan mereka yang kita anggap atau nilai gila selama ini, menganggap kita yang gila.
Dosen yang terlihat kaget atas pernyataan ku, lalu bertanya, mengapa begitu?
Kita kan, menganggap perlakuan atau tingkah mereka tidak seperti kebanyakan orang, dan kerena mereka berbeda dengan orang umumnya, maka mereka kita anggap aneh atau gila. Padahal Kita tak pernah berada diposisi mereka, Kita hanya menilai  berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Seandainya kita bersama diposisi mereka, mungkin penilaian kita berbeda.
Sederhana gini. Ketika kita melihat orang yang kekurangan tangan, hanya ada satu tangan. kita mengatakan ia cacat. Karena tangannya hanya satu, tak seperti kita yang dua tangan. Akan tetapi coba kita renungkan. Seandainya Tuhan menciptakan seluruh manusia hanya bertangan satu, Â pasti kita menganggap yang bertangan dua itu cacat.Â
Itu dikarenakan ukuran kita dalam menilai sesuatu, berdasarkan hal yang banyak dilihat, atau dilakukan orang umumnya.