Mohon tunggu...
Ade T Bakri
Ade T Bakri Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka kopi

Adenyazdi.art.blog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Ibu dan Larangan Merayakannya

22 Desember 2020   07:00 Diperbarui: 22 Desember 2020   15:42 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, diperingati  sebagai Hari ibu. Mengutip dari Wikipedia Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya.

Di Indonesia, hari ibu dirayakan secara nasional pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. 

Melansir dari Tirto.id  Sejarah peringatan Hari Ibu dimulai dari Kongres Perempuan I di tahun 1928 yang menandai tonggak perjuangan perempuan Indonesia, dalam mengambil peran di setiap derap pembangunan di Indonesia.

Kongres I telah melahirkan langkah besar bagi kehidupan perempuan Indonesia, yaitu: Pertama, tercapainya hasrat untuk membentuk sebuah organisasi perempuan solid, yang ditandai dengan kelahiran sebuah organisasi perempuan yang dinamakan “Perikatan Perempuan Indonesia".

Kedua, kongres tersebut telah melahirkan tiga mosi yang keseluruhannya berorientasi pada kemajuan perempuan, yaitu: tuntutan penambahan sekolah rendah untuk anak perempuan Indonesia, perbaikan aturan dalam hal taklek nikah, perbaikan aturan tentang sokongan untuk janda dan anak yatim pegawai negeri.

Intinya, tanggal 22 Desember dipilih untuk merayakan semangat perempuan Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. 

Namun, kini peringatan Hari ibu dimaknai atau di peringati dengan cara baru (Ala anak milenial). Saya menyebut cara baru karena peringatan tersebut tidak hanya berupa mengenang perjuangan kaum perempuan dalam merebut kemerdekaan dan juga memberikan pemahaman pada generasi muda (milenial) tentang keberanian dan pengorbanan kaum perempuan dimasa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi sekarang peringatan tersebut di tunjukan  anak-anak  milenial  terhadap ibu mereka sendiri yang mewakili kaum perempuan.

Melalui media sosial. Seperti FB. IG. Twitter. WA. Anak-anak milenial merayakan hari ibu dengan berbagai macam ekspresi. Seperti  menuliskan tentang ucapan  hari ibu dengan kata-kata puitis,  mem-posting foto bersama ibu;  foto kue yang bertuliskan hari ibu dan lain-lain yang berkaitan dengan ibu. 

Ini menunjukan terjadi perubahan pemaknaan tentang hari ibu. yang pada awalnya ditujukan kepada perjuangan dari para perempuan untuk merebut kemerdekaan. Kini, sebagian orang menganggap kaum perempuan yang di maksud adalah ibunya sendiri. Dan itupun menurut saya tak ada salahnya 

Kendati banyak kita temukan beragam ucapan selamat hari ibu di Media sosial. Sayangnya di hari ibu juga, beredar vidio ceramah  tentang pelarangan mengucapkan, merayakan” Selamat Hari ibu”.

Vidio tentang pelarangan semacam itu, dengan mudah kita temukan atau jumpai ketika memasuki bulan-bulan, seperti Natal, tahun baru dan pada hari ibu.

Vidio tersebut, di share (bagikan) di media sosial oleh orang-orang yang menganggap hari ibu adalah bagian dari perayaan orang-orang kafir. 

Sehingga dengan membagikan vidio ceramah tersebut, barangkali mereka menganggap telah menjalankan amal ma'ruf (mengajak pada kebaikan) nahi munkar (mencegah pada kemungkaran). 

***

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas.  Salah satu vidio ceramah yang beredar tentang pelarangan merayakan Hari ibu tersebut. Sempat saya tonton dan menurut saya, jawaban Ustaz dalam ceramah tersebut kelihatan "aneh".

Mengapa saya mengatakan demikian? 

Dalam vidio yang saya tonton tersebut,
Menampilkan  salah seorang Ustaz berinisial S,  sedang membaca tulisan di sebuah kertas yang berupa pertanyaan dari salah seorang jamaahnya. 

Begini bunyi pertanyaan nya: Hari ini adalah hari ibu, di Indonesia dirayakan pada tanggal 22 Desember. Bagaimana hukum merayakannya? 

Ustaz itu menjawab.  tak boleh merayakan hari ibu, karena siapa yg mengikuti kebiasaan orang kafir, dia kafir (Dia pun kemudian mengutip sebuah ayat).

Setelah menjawab pertanyaan pertama, dia membaca pertanyaan selanjutnya. Apakah boleh membelikan hadiah untuk ibu di hari ini(hari ibu)? 

Ustaz itu lalu menjawab, memberikan hadiah itu harus setiap hari. saya memberikan hadiah setiap hari kepada ibu saya. Jangan hanya sekali setahun. Jangan ikut-ikut tradisi orang kafir. 

Pendek nya. Dari dua pertanyaan di atas  dan juga jawaban dari Ustaz tersebut. Kita yang berpikir, akan bertanya. Kalau setiap hari boleh memberikan hadiah?
Terus kenapa dengan hari ini?. 

Bukankah hari ini pun bagian dari tiap-tiap hari dari setiap hari yang ustad itu sebutkan? 

Kalau dengan alasan, hari ini orang kafir lagi merayakan dan memberikan hadiah.

Loh, kalau begitu, jangan bilang setiap hari boleh memberikan hadiah, harus ada pengecualian. Bahwa selain tanggal 22 desember, boleh membelikan hadiah untuk ibu. 

Aneh, bukan? Dan yang mengherankan buat saya adalah dengan mudahnya seseorang dianggap/dilabeli kafir walau hanya mengucapakan atau merayakan selamat hari ibu. 

Padahal rasullullah pernah berkata: siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian, maka sebutan itu kembali kepadanya (H.R. Muslim: 61).

Atau seperti Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)

Terkadang muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah orang yang selalu menyala-nyalakan pendapat, keyakinan kelompok, Agama atau mazhab yang lain; atau mengkafirkan yang tidak sesuai dengan pemahaman, pendapat mereka, apakah mereka telah mendapatkan mandat dari Tuhan? atau telah mendapatkan kunci dari surga, sehingga mengatakan hanya kelompok merekalah yang benar? 

Saya tak habis pikir, di zaman sekarang ini, yang dimana, negara-negara lain, berlomba-lomba memajukan sains dan teknologi; dan menjelajah antariksa. Zaman yang tenaga manusia sudah mulai diganti dengan robot/mesin, tapi masih ada jenis manusia semacam itu. Yang pertanyaan nya masih seputar boleh tidak nya mengucapkan, merayakan hari ibu dan lain sebagainya

Seandainya, dengan akal yang jernih dan hati yang penuh kasih mencari tahu atau memahami pendapat, pemikiran, keyakinan orang yang berbeda pemahaman. Saya pikir kita tak akan mudah menuduh orang yang berbeda itu dengan kata sesat atau kafir. 

Saya teringat ucapan jalaluddin Rumi:
kebenaran adalah sebuah cermin di tangan Tuhan,  cermin itu jatuh dan pecah berkeping-keping. Masing-masing dari kita Memungut kepingan itu 
dan melihat telah menemukan kebenaran.

***

Bagi saya, tidak ada yang salah dalam mengucapkan selamat hari ibu. Menuliskan puisi, memajang foto bersama ibu lalu mengunggah  dan menuliskan kata-kata cinta.

Itu semua hanyalah sebuah ekspresi kecintaan terhadap ibu, dan ucapan tersebut tidak serta merta menjadikan seseorang menjadi kafir. Akan tetapi Kalau mengucapakan selamat hari ibu, lantas  masih di katakan kafir. Ya, tinggal syahadat kembali. hehe

Seperti  kata GusDur ketika di tanya seorang santrinya. Gus, ada yang bilang njenengan kafir,”.
GusDur menjawab. Ya ndak apa-apa dibilang kafir, tinggal ngucapin dua kalimat syahadat, udah Islam lagi,” 

Namun, sebaiknya kalau ingin menyampaikan selamat hari ibu,  sebaiknya sampaikan aja langsung dihadapan ibu.

Karena banyak yang menuliskan selamat hari ibu di FB. IG. WA. Tapi  Ibunya tak mengetahui atau membaca tulisan tersebut. Sebab tidak semua ibu menggunakan smartphone.

Banyak dari ibu kita yg tinggal di perkampungan, hidup dengan berkebun, tak punya akses listrik, apalagi tentang Smartphone atau jaringan internet. Dia tak akan dapat mengetahui kalau anaknya yang tinggal di perkotaan dengan segala pernak-pernik moderenitas, menuliskan kata-kata cinta di FB. iG. WA. Tentang nya.

Jadi merasa lah. Kalau ibu anda tidak menggunakan smartphone, jangan tuliskan di FB. IG. Twitter maupun WA. Tapi kalau anda bermaksud menunjukan ke teman-teman mu bahwa anda pun menyayangi ibumu.

Silahken. . . 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun