Dalam beberapa bulan terakhir ini, jika sedang berjalan-jalan mungkin kalian akan melihat tukang ojek yang mengenakan jaket berwarna hijau terang dengan setrip yang glow in the dark? Itulah Go-Jek.
Go-Jek ini, adalah layanan Tukang Ojek yang bisa dipesan online atau lewat telepon. Jaman sekarang gitu loh, jadi semua serba praktis. Jika dahulu kita bisa memanggil taksi lewat layanan telepon, sekarang tukang ojek yang bisa dipanggil dengan layanan telepon.
Eh, sebenarnya jasa memanggil tukang ojek lewat telepon itu sudah ada sejak dahulu sih. Kebetulan kakakku termasuk langganan ojek. Jadi, dia menyimpan nomor telepon tukang ojek langganannya. Jika butuh layanan Ojek, kakak tinggal angkat telepon lalu menelepon si tukang ojek langganannya agar datang ke rumah.
Tapi, bagaimana jika kita-kita yang tidak punya ojek langganan mau naik ojek? Jalan ke pangkalan ojek belum tentu ada ojek yang lagi mangkal. Di waktu-waktu tertentu, pangkalan sepi. Entah tukang ojeknya tidur atau main gaple atau mungkin sedang bertugas mengantar pelanggan.Â
Padahal, bisa dikatakan bahwa untuk mengatasi macet dan ribetnya rimba lalu lintas Jakarta itu, maka Ojek adalah salah satu solusi yang bisa digunakan. Bukan apa-apa sih, tapi karena bentuk motor yang ramping, maka motor yang merupakan kendaraan yang digunakan oleh para tukang ojek, bisa menelusup celah jalan raya yang padat. Dengan begitu, macet tidak lagi jadi kendala. Presiden SBY sendiri, dulu pernah loh naik Ojek ketika ada pembukaan balap mobil A1 di Sentul.Â
Nah... sepertinya, peluang inilah yang dilihat oleh Nadiem Markim, pemilik usaha Go-Jek, sebuah usaha ojek yang terbesar di kawasan Jakarta. Go-Jek memberikan sebuah servis berbentuk transportasi sepeda motor bagi para pelanggannya. Perusahaan Go-Jek didirikan bersama dengan beberapa rekannya. Namun, pencetus ide yang utama adalah Nadiem yang sangat jeli melihat peluang dari kondisi kota yang macet tersebut. Kemacetan dirubah menjadi sebuah berkah sendiri untuknya.
Usaha Go-Jek milik Nadiem telah berkembang dengan pesat. Order yang diterima pun bertambah banyak setiap harinya. Sekarang ini, Go-Jek bisa menerima lebih dari 150 order tiap harinya, dan itu belum termasuk perusahaan-perusahaan yang telah bekerja sama dengan Go-Jek. Tidak hanya itu saja, armada dari Go-Jek pun sudah mencapai 500 orang yang kebanyakan berpusat di Jakarta Selatan. Selama kemacetan masih ada, selama itu pulalah usaha Go-Jek akan tetap berkibar (baca: Melirik tips usaha gojek milik Nadiem).
Sukses layanan Go-Jek ini, akhirnya membuat investor dari luar melirik Indonesia dan mereka pun mengikuti jejak Go Jek dengan membuat layanan Grab Bike. Ini, layanan tukang ojek juga yang bisa dipanggil lewat telepon, sms atau via website.
Berbeda dengan Go-Jek yang merupakan usaha dari anak bangsa Indonesia sendiri, maka Grabbike ini adalah usahanya orang luar negeri (kalau gak salah dari Malaysia).
Jika diperhatikan, seragam mereka yang selintas mirip itu beda sebenarnya. Go-jek didominasi warna hijau sedangkan Grabbike dominasi warna hitam. Tapi tetap sih mereka berdua pakai dua warna dominan: Hitam dan HIjau.
Untuk mendapatkan layanan mereka, kita tinggal mendownload aplikasi Go-Jek atau Grabbike yang ada di aplikasi apple store atau android market.Â
Sayangnya, yang namanya pembaharuan itu tidak selalu bisa serta merta diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat kita. Sehingga yang terjadi adalah bentrokan antara Perubahan baru dan Yang Anti Perubahan. Dalam hal ini adalah antara Tukang Ojek Go-Jek dan Tukang Ojek Pangkalan.
Temanku, yang langganan Gojek, bercerita bahwa tukang  Gojeknya tidak bisa lagi masuk ke apartemen tempatnya tinggal karena dihadang oleh tukang ojek pangkalan yang ada di dekat apartemen tempatnya berada.
Â
Â
Iseng, aku pernah menanyakan hal ini pada tukang ojek yang aku temui (ceritanya wawancara ringan gitu).
"Bang... lebih enak jadi tukang ojek pangkalan atau tukang ojek GOjek sih?"
"Ya lebih enak tukang ojek GOjek bu. Karena, pendapatan saya jadi lebih banyak setelah jadi gojek."
"Kenapa bisa begitu?"
"Soalnya, kita nggak sempat bengong. Dulu waktu masih mangkal, kita nunggu ada orang yang datang. Jadi, sambil nunggu ngobrol atau main gaple atau tidur aja. Kadang, sehari cuma dapat berapa orang. Nah, setelah jadi gojek, saya nggak mau cuma nunggu saja. Kalau lagi sepi, saya nyari order yang ada di handphone. Minta antar barang boleh, minta beliin sesuatu juga boleh. Jadi nggak mesti harus ngelayanin orang aja. Tapi bisa ngelayanin barang juga. Jadi, nggak sempat lagi yang namanya ngobrol, bengong, main gaple. Yang ada bawaannya nyari duit aja. Jadi akhirnya dapat duitnya lebih banyak lagi daripada cuma mangkal aja."
"Lah.. terus.. itu kenapa sampai bentrok dengan tukang ojek yang di kalibata city?" (Kalibata City ini apartemen yang dekat dengan rumahku)
"Ya.. kita nggak bisa nyalahin mereka ya bu. Yang namanya juga sama-sama nyari makanan buat periuk nasi. Jadi istilahnya, kita tuh sesama tukang ojek emang sebaiknya sih jangan ngerebut periuk nasi orang lain. Saya sih terus terang aja, nggak mau ambil orang di wilayah pangkalan orang lain. Karena, itu kan emang udah ada wilayah-wilayahnya ya. Ini lahan gue cari makan disini, lahan elu disana. Sedangkan gojek yang nggak ngerti kadang abis antar barang, masih juga ngangkut pelanggan yang ditemui di jalanan di daerah pangkalan orang lain. Seharusnya sih emang nggak boleh. Jadi, jelas saja mereka pada marah. Ya.. gimana kagak marah kalau periuk nasinya direbut?"
"Eh.. sekarang ada loh selain gojek, itu grabbike."
"Iya bu emang ada. Tapi itu beda. Kalau gojek kita nggak bayar buat jadi anggota. Sedangkan grabbike bayar seratus ribu kalau mau jadi anggota. Tapi tetap sih, meski bayar segitu tetap balik modal. Malah untung menurut saya."
"Kok bisa untung? Katanya harus nyicil handphone juga ke pengelola gojek?"
"Ya.. nyicil hape berapa sih bu? Mau nyicil apa kagak kan jaman sekarang tetap butuh yang namanya hape."
"Tapi soal potongan bagi hasil?"
"Lahh.. sama aja. Kita kalau mangkal itu harus bayar retribusi juga ke pengelola pangkalan. Istilahnya, bayar sewa tempat ke mereka. Sama aja kan jadinya."
Jadi menurutku sih, ini masalah waktu saja sih. Cepat atau lambat sepertinya semua tukang ojek akan bersatu dengan begabung dengan pengelola ojek.Â
Ya, selisih paham sedikit di awal ini rasanya wajar. Namanya juga lagi penyesuaian menuju sebuah perubahan baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H