Mohon tunggu...
Ade Iftahaq
Ade Iftahaq Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer of Agriculture Manufacturing Industry

Supply Chain | Fresh Product | Industrial Engineering

Selanjutnya

Tutup

Metaverse Artikel Utama

Menarik Sekali jika Esport Masuk Kurikulum Sekolah

4 Februari 2019   10:48 Diperbarui: 5 Februari 2019   00:44 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana iCafe Poseidon, Warnet Game yang dikembangkan Nvidia untuk merintis komunitas eSport (Foto: Kompas.com/Rizky C. Septania)

Sekitar 3 tahun lalu, perusahaan tempat saya bekerja menetapkan peraturan bahwa karyawan dilarang membawa HP kecuali jabatan tertentu yang membutuhkannya untuk urusan pekerjaan. Alasannya sederhana, karena "Game Online". 

Saat itu Clash of Clans sedang booming, hampir setiap orang memainkannya. Dan kita bisa tahu hanya dengan melihat posisi HP Android atau Iphone yang miring. 

Bermain game saat bekerja di pabrik, jelas kesalahan besar, begitu banyak risiko yang muncul. Mulai dari kecelakaan kerja, hingga kesalahan prosedur kerja. Oleh sebab itu, peraturan yang tegas segera diterbitkan.

Kasus di atas terjadi pada karyawan pabrik, yang notabene sudah dewasa, seharusnya bersikap profesional dan mengerti tanggung jawab. Bagaimana jika wabah game online menjamur pada siswa di sekolah?

Lebih dari satu dekade lalu, saya masih merasakan dimana game online belum bisa diakses secara mobile. Sehingga para gamers masih perlu ke warnet untuk dapat mengakses game online melalui Personal Computer (PC). 

Dengan adanya konstrain itu saja, tidak menghalangi teman-teman sekolah saya yang memang hardcore gamers untuk bermain game online RPG kesukaannya, misalnya Ragnarok, Seal Online, dsb. Tak jarang mereka sampai menginap di warnet. Entah dengan alasan ada event khusus atau hanya sekedar leveling up dalam dunia alternatif tersebut.

Saat itu bisa dikatakan jika kegiatan bermain game online sebagian besar adalah negatif, selain menghabiskan banyak waktu dan uang, pandangan sosial dari masyarakat juga tidak baik. 

Namun, konotasi negatif untuk game online sudah jauh bergeser saat ini. Apalagi sejak permainan game online digolongkan sebagai Esport, dan masuk dalam Asian Games 2018.

Seperti menemukan oasis di padang pasir, para gamers yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum bisa menunjukkan bahwa kegiatan mereka layak untuk disebut profesi, yang bisa dihormati.

Beberapa Gamers Sukses, dengan Penghasilan Fantastis

Sebagai role model di dunia game, Indonesia memiliki beberapa nama yang sudah tidak asing, misalnya "Jess No Limit" dan "Sarah Viloid". Keduanya aktif sebagai gamers dan youtuber dengan subscriber hingga ratusan ribu subscriber.

Sarah Olivia a.k.a Sarah Viloid, salah satu Inspirator Gamers Indonesia (sumber : Ngebahas Game)
Sarah Olivia a.k.a Sarah Viloid, salah satu Inspirator Gamers Indonesia (sumber : Ngebahas Game)
Kesuksesan Sarah Viloid di bidang game online mampu memberikan kehidupan yang sangat layak baginya, pada feed instagramnya, Sarah bercerita jika sudah bisa membeli rumah di umur 17 tahun.

Sumber : Instagram/sarahvilo.id
Sumber : Instagram/sarahvilo.id
Lebih hebat lagi, gamers dengan nickname "Jess No Limit", dari keahliannya di bidang Esport, dia sudah membeli Ferrari saat usaianya masih muda.

Jess No Limit, Beli Ferrari dari Game Online (Sumber : Tribunnews)
Jess No Limit, Beli Ferrari dari Game Online (Sumber : Tribunnews)

Rencana Menpora Memasukkan Esport dalam Kurikulum Sekolah

Dilansir dari tirto.id

Harus ada rekomendasi dari kepala sekolah karena ini sebuah prospek, memberi harapan masa depan, baik itu dalam konteks industri olahraga, maupun prestasi olahraga," kata Nahrawi di Aula Kemenpora, Jakarta Selatan pada Selasa (29/1/2019).

Nahrawi berpendapat eSport lebih dari sekedar permainan. Menurut dia, terdapat nilai-nilai sportivitas, azas saling menghargai dan semangat bekerja sama dalam olahraga eSport.

"Belajar [permainan] digital bisa membentuk kepribadian yang kuat, saling menghargai, menghormati, dan tentu saling bekerja sama. Makanya kalau ada yang mengatakan eSport bukan bagian olahraga, saya kira itu perlu diluruskan," ujar Nahrawi.

Dari sumber lain, Kemenpora telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 50 miliar untuk mendanai langkah tersebut dan sedang mendorong kampanye olahraga Esport di tingkat pelajar. (revivaltv)

Salah satunya dengan menggelar Youth National eSport Championship 2019. Kompetisi ini rencananya akan melibatkan tim dari 600 sekolah SMP dan SMA di 22 kota di Pulau Jawa dan Sumatera, dan berlangsung pada 18 Januari hingga September 2019.

Bisa kita bayangkan bagaimana euphoria para gamers nasional dengan wacana yang disampaikan oleh Menpora tersebut. Di masa mendatang, para orang tua tidak bisa lagi melarang putra-putrinya untuk main game online karena sudah masuk dalam kurikulum pembelajaran, mereka bahkan harus meberikan fasilitas yang cukup agar anaknya tidak tertinggal.

Lebih Fokus Game Online daripada Pelajaran Reguler

Saya sangat setuju jika banyak ahli mengatakan Esport memberikan dukungan pada perkembangan pola berpikir anak, khususnya dalam pengambilan keputusan, kerja sama team, juga kemampuan managerial yang lain.

Tetapi, perlu diingat bahwa ada harga yang harus dibayar mahal. Saking menariknya game online, yang dimasukkan sebagai Esport, sangat besar peluangnya untuk menggeser prioritas siswa untuk pelajaran reguler. Saat masih dilarang saja, masih banyak yang bermain, apalagi jika difasilitasi atau dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran.

Kita harus siap jika nantinya sebagian besar waktu anak-anak kita yang duduk di bangku SMP dan SMA, akan dihabiskan untuk main game, tutorial game, dsb, daripada belajar science, sastra, atau pelajaran lain yang dianggap lebih tidak menarik daripada Esport.

Biaya Sekolah Semakin Membengkak jika Esport Masuk

Level pendidikan di Indonesia, tidak bisa dipungkiri masih perlu banyak perbaikan, khususnya dalam fasilitas, sarana, dan prasarana penunjang kegiatan pendidikan. Tidak jarang kita temukan sekolah yang belum bisa memberikan pelajaran secara optimal dikarenakan kurangnya fasilitas pendidikan.

Dalam hal ini, termasuk ketersediaan komputer di sekolah. Proyek konversi ujian nasional yang semula dilakukan secara tertulis, menjadi ujian nasional online saja sudah menyita banyak perhatian. Karena banyak sekolah yang belum siap dengan komputer sebagai media utama proses ujian. 

Saya sendiri menjumpai beberapa sekolah yang mengambil kebijakan untuk membebani siswanya dengan pengadaan Laptop. Jadi sebelum ujian akhir sekolah, mereka harus menyediakan laptop yang bisa digunakan untuk ujian secara pribadi karena di sekolah jumlahnya tidak cukup.

Bagaimana jika nantinya Esport masuk kurikulum, sementara fasilitas di sekolah belum mendukung? Apa tidak menambah peluang untuk sekolah membebankan fasilitas ini ke wali murid?

Bahkan jika Esport yang diajarkan hanya sebatas pada game mobile, dengan media smartphone, tetap saja biaya tambahan untuk siswa akan semakin tinggi. 

Perlu diperjelas, Kurikulum Esport untuk Siapa

Dengan tingginya peluang polemik yang akan muncul jika Esport masuk pada kurikulum belajar sekolah, sebaiknya perlu dibatasi kurikulum ini untuk siapa. Misalnya pada sekolah-sekolah tertentu yang memang memiliki visi khusus di bidang Esport.

Bukan bermaksud mendiskreditkan sekolah yang ada di Indonesia, namun saya yakin jika Sumber Daya Manusia (SDM) kita belum 100% siap dengan masuknya Game Online atau Esport jika harus menjadi mata pelajaran reguler untuk semua siswa.

Oleh karena itu, koordinasi antara Kemenpora dengan Kemendikbud harus benar-benar dilakukan secara komperhensif. Dengan mempertimbangkan segala aspek dan risiko yang akan muncul.

Terima Kasih,
Ade Iftahaq.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun