Kita harus siap jika nantinya sebagian besar waktu anak-anak kita yang duduk di bangku SMP dan SMA, akan dihabiskan untuk main game, tutorial game, dsb, daripada belajar science, sastra, atau pelajaran lain yang dianggap lebih tidak menarik daripada Esport.
Biaya Sekolah Semakin Membengkak jika Esport Masuk
Level pendidikan di Indonesia, tidak bisa dipungkiri masih perlu banyak perbaikan, khususnya dalam fasilitas, sarana, dan prasarana penunjang kegiatan pendidikan. Tidak jarang kita temukan sekolah yang belum bisa memberikan pelajaran secara optimal dikarenakan kurangnya fasilitas pendidikan.
Dalam hal ini, termasuk ketersediaan komputer di sekolah. Proyek konversi ujian nasional yang semula dilakukan secara tertulis, menjadi ujian nasional online saja sudah menyita banyak perhatian. Karena banyak sekolah yang belum siap dengan komputer sebagai media utama proses ujian.Â
Saya sendiri menjumpai beberapa sekolah yang mengambil kebijakan untuk membebani siswanya dengan pengadaan Laptop. Jadi sebelum ujian akhir sekolah, mereka harus menyediakan laptop yang bisa digunakan untuk ujian secara pribadi karena di sekolah jumlahnya tidak cukup.
Bagaimana jika nantinya Esport masuk kurikulum, sementara fasilitas di sekolah belum mendukung? Apa tidak menambah peluang untuk sekolah membebankan fasilitas ini ke wali murid?
Bahkan jika Esport yang diajarkan hanya sebatas pada game mobile, dengan media smartphone, tetap saja biaya tambahan untuk siswa akan semakin tinggi.Â
Perlu diperjelas, Kurikulum Esport untuk Siapa
Dengan tingginya peluang polemik yang akan muncul jika Esport masuk pada kurikulum belajar sekolah, sebaiknya perlu dibatasi kurikulum ini untuk siapa. Misalnya pada sekolah-sekolah tertentu yang memang memiliki visi khusus di bidang Esport.
Bukan bermaksud mendiskreditkan sekolah yang ada di Indonesia, namun saya yakin jika Sumber Daya Manusia (SDM) kita belum 100% siap dengan masuknya Game Online atau Esport jika harus menjadi mata pelajaran reguler untuk semua siswa.
Oleh karena itu, koordinasi antara Kemenpora dengan Kemendikbud harus benar-benar dilakukan secara komperhensif. Dengan mempertimbangkan segala aspek dan risiko yang akan muncul.
Terima Kasih,
Ade Iftahaq.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H