Mohon tunggu...
Ade Lanuari Abdan Syakura
Ade Lanuari Abdan Syakura Mohon Tunggu... Guru - Bersatu padu

Hanya manusia biasa yang diberikan kehendak oleh Tuhan untuk menggoreskan pena pada secarik kertas kusam.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerbung: Mesin Waktu (Episode 2)

31 Desember 2024   11:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   11:00 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Penjelajahan Waktu dan Teori Relativitas Einstein Sumber: detik.com

Hari ini, Rachel bercerita bahwa keinginannya untuk melakukan perjalanan waktu atas dasar kesalahannya di masa lalu. Ayahnya meninggal, tepat satu jam sesaat setelah dia merayakan ulang tahun ketujuh.

Ayahnya menawarkan hadiah yang Rachel minta, kemudian Rachel meminta jam tangan berbentuk Hello Kitty, terinspirasi dari film kesukaannya saat masih kecil. Tanpa menunggu lama sang ayah pergi keluar mencari jam tangan keinginannya. Padahal waktu itu jam menunjukkan pukul 16.45, sedang toko tutup pukul 17.00, dengan kecepatan tinggi ayahnya menaiki motor menuju toko jam yang letaknya kurang lebih 2 km dari rumah. Naas, sebelum sampai ke lokasi sang ayah menerjang mobil berkecepatan tinggi dari arah berlawanan. Nyawanya tak bisa diselamatkan, karena meninggal di tempat.

Hal inilah yang membuat Rachel selalu bersedih saat sepi, meratapi masa lalu. Berandai-andai, tak pernah meminta jam tangan bergambar Hello Kitty, jika ia tak meminta pastilah ayahnya hingga kini masih hidup. Cerita ini baruku dengar, semenjak dulu dia selalu ceria, namun ternyata dia pintar menutup kesedihanya di kala ramai. Kematian ayahnya memberinya luka yang begitu dalam pada batinnya.

"Aku begitu bodoh Lio... Ayahku meninggal karena ingin melihat putrinya bahagia di hari ulang tahunnya yang ketujuh dengan memakai jam berbentuk Hello Kitty. Andaikan... Andaikan...Saat itu..."

Tangisnya pecah, aku mencoba menenangkannya sesuai dengan kemampuanku. Sayang, tangisnya semakin menjadi. Harusnya aku tak menenangkannya, agar dia menangis dan mengungkapkan isi hatinya dengan tenang. Bagaimanapun wanita berbicara karena ingin didengar, bukan untuk ditanggapi.

"Sungguh, bodohnya diriku..."

Aku menggumam dalam hati, sialnya Rachel menangis pada saat jam makan siang di cafetaria sebelah perpustakaan yang tentunya ramai pengunjung. Dengan tangis Rachel yang bertambah menjadi, tentu hal ini menjadi sorotan bagi orang-orang, bahkan beberapa datang menghampiriku sambil bertanya.

"Mas-nya pasti selingkuh ya? Kok ceweknya sampai nangis kaya itu?"

Dan yang paling parah...

"Mas-nya enggak mau tanggungjawab ya sama mba-nya?

 Akhirnya aku harus mengklarifikasi dan menjelaskan kepada mereka-mereka yang bertanya.

"Wah mas mana mungkin saya selingkuh, saya bukan pacarnya. Kita cuma sahabatan kok, kaya kepompong itu lho. Ujarku sambil menggaruk kepala dan tersenyum kecut.

Beruntung Rachel juga menjelaskan sebab tangisannya, meski dengan sesenggukan dan terbata karena masih menahan  isak tangis. Orang-orang yang tadinya menaruh curiga kepadaku, balik meminta maaf, kembali melahap nasi yang perlahan mulai mendingin.

"Ah kamu ini, bikin aku deg-degan. Hampir aja satu warung menghakimiku gara-gara tangisanmu..."

Rachel kali ini cengengesan, meski tangisannya masih membekas di kedua pipinya.

****

                Lain halnya dengan diriku, perjalanan waktu ingin sekali kutempuh karena pada dasarnya aku penasaran. Semenjak kecil aku suka bertanya ke kedua orang tuaku, dari hal kecil hingga besar.

                "Papa, pernah dengar suara semut kaya gimana?"

                Papaku hanya menggaruk kepala yang tak gatal, sembari memberi isyarat tidak tahu, kemudian pergi ke dapur, menghindari hujaman pertanyaan-pertanyaan lain.

                Mama, kenapa kalau matahari panas, ruang angkasa dingin?"

                Mamaku yang sedang asyik memotong wortel hanya melotot, lalu hanya berkata:

                "Nanti dulu ya nak, mama lagi masak. Nanti kalo kau tanya-tanya terus enggak matang-matang ayam gorengnya."

                Aku jelas kecewa dengan jawaban mama, lebih kecewanya lagi ternyata mama tidak menggoreng ayam, tapi tempe. Pertanyaan tidak terjawab, ayam goreng pun tak jadi.

                Begitulah diriku semenjak kecil hingga sekarang, semua pertanyaan selalu berputar di kepalaku. Tak ada hari tanpa sebuah pertanyaan, terutama pertanyaan aneh. Lucunya lagi, semua pertanyaanku didasari pada pengalaman sehari-hari. Jika menggunakan bahasa filosofus, aku adalah seorang aposteriori, yang mewajibkan pengalaman Indera sebagai dasar pengetahuan, senada dengan pendapat dari Aristoteles.

                Khusus untuk mesin waktu, mengapa aku mempercayainya? Padahal belum ada bukti nyata? Jujur untuk hal ini aku percaya, namun butuh bukti untuk meyakinkan orang lain. Biasanya argumen mesin waktu adalah film atau pun novel yang fiktif, untuk itu aku sedang mencari bukti ilmiah lain.

                Aku membayangkan seandainya ada sebuah buku tebal berwarna kuning berisi rumus-rumus fisika tentang waktu, mungkin akan lebih mudah menelusuri konsep waktu sebagai perantara adanya perjalanan dari masa ke masa. Sayang tidak ada buku seperti itu, buku seperti itu hanya ada dalam imajinasiku.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun