Akhirnya aku harus mengklarifikasi dan menjelaskan kepada mereka-mereka yang bertanya.
"Wah mas mana mungkin saya selingkuh, saya bukan pacarnya. Kita cuma sahabatan kok, kaya kepompong itu lho. Ujarku sambil menggaruk kepala dan tersenyum kecut.
Beruntung Rachel juga menjelaskan sebab tangisannya, meski dengan sesenggukan dan terbata karena masih menahan  isak tangis. Orang-orang yang tadinya menaruh curiga kepadaku, balik meminta maaf, kembali melahap nasi yang perlahan mulai mendingin.
"Ah kamu ini, bikin aku deg-degan. Hampir aja satu warung menghakimiku gara-gara tangisanmu..."
Rachel kali ini cengengesan, meski tangisannya masih membekas di kedua pipinya.
****
        Lain halnya dengan diriku, perjalanan waktu ingin sekali kutempuh karena pada dasarnya aku penasaran. Semenjak kecil aku suka bertanya ke kedua orang tuaku, dari hal kecil hingga besar.
        "Papa, pernah dengar suara semut kaya gimana?"
        Papaku hanya menggaruk kepala yang tak gatal, sembari memberi isyarat tidak tahu, kemudian pergi ke dapur, menghindari hujaman pertanyaan-pertanyaan lain.
        Mama, kenapa kalau matahari panas, ruang angkasa dingin?"
        Mamaku yang sedang asyik memotong wortel hanya melotot, lalu hanya berkata: