"Nanti dulu ya nak, mama lagi masak. Nanti kalo kau tanya-tanya terus enggak matang-matang ayam gorengnya."
        Aku jelas kecewa dengan jawaban mama, lebih kecewanya lagi ternyata mama tidak menggoreng ayam, tapi tempe. Pertanyaan tidak terjawab, ayam goreng pun tak jadi.
        Begitulah diriku semenjak kecil hingga sekarang, semua pertanyaan selalu berputar di kepalaku. Tak ada hari tanpa sebuah pertanyaan, terutama pertanyaan aneh. Lucunya lagi, semua pertanyaanku didasari pada pengalaman sehari-hari. Jika menggunakan bahasa filosofus, aku adalah seorang aposteriori, yang mewajibkan pengalaman Indera sebagai dasar pengetahuan, senada dengan pendapat dari Aristoteles.
        Khusus untuk mesin waktu, mengapa aku mempercayainya? Padahal belum ada bukti nyata? Jujur untuk hal ini aku percaya, namun butuh bukti untuk meyakinkan orang lain. Biasanya argumen mesin waktu adalah film atau pun novel yang fiktif, untuk itu aku sedang mencari bukti ilmiah lain.
        Aku membayangkan seandainya ada sebuah buku tebal berwarna kuning berisi rumus-rumus fisika tentang waktu, mungkin akan lebih mudah menelusuri konsep waktu sebagai perantara adanya perjalanan dari masa ke masa. Sayang tidak ada buku seperti itu, buku seperti itu hanya ada dalam imajinasiku.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H