Jari-jemariku amat lincah menggerakkan layar hp. Mataku tertuju ke arahnya, fokus memperhatikan hal-hal yang terjadi di dunia maya. Beberapa hari lalu sempat heboh di media sosial bahwa seorang pecatur online unggulan menanatang atlet nasional setelah sebelumnya mereka saling sindir dalam sebuah podcast nomor wahid di Indonesia.
Usut punya usut bahwa pecatur online yang konon katanya pernah mengalahkan pecatur hebat asal Amerika tidak terima jika selama bertanding melalaui gawai dituduh curang oleh beberapa pihak, termasuk atlet nasional itu. Beberapa pihak yang mahir dalam dunia percaturan juga mempunyai asumsi sama, bahwa pecatur online melakukan intrik ala-ala hacker sehingga bisa menang melawan siapa saja di dunia maya.
Dewa Kipas, adalah pecatur online yang sangat viral di media sosial. Entah di youtube, instagram, maupun twitter. Kehadirannya seolah membuka mata warganet bahwa ada orang Indonesia yang mampu mengalahkan pecatur-pecatur handal luar negeri, namun tak menjadi sorotan media mainstream, apalagi pemerintah.
Sore ini, Dewa Kipas akan bertanding melawan atlet catur nasional yang bernama Irene Sukandar dalam sebuah acara milik youtuber senior, Deddy Corbuzier atau akrab dipanggil dengan sebutan Om Ded.
Banyaknya sponsor juga antusiasme warganet membuat acara ini berlangsung secara meriah. Om Ded telah menyiapkan uang sebanyak 300 juta rupiah, dengan rincian; 200 juta rupiah untuk pemenang, sedang 100 juta rupiah untuk yang kalah. Hadiah itu menjadi rekor tertinggi dalam ajang pertandingan catur yang diadakan di Indonesia.
Lebih jauh, hadiah itu setara dengan medali emas dalam ajang catur SEA GAMES 2019. Benar-benar fantastis dan spektakuler. Bagiku itu angka yang lumayan untuk membeli beberapa petak tanah sekadar memulai usaha atau modal membangun rumah di kota kecil.
Aku menghela napas panjang, mataku menyipit seperti melihat titik kecil hitam dari kejauhan, padahal jelas-jelas kesilauan cahaya HP. Meski begitu, mataku tak jenuh menatap layar, menunggu pertandingan seru nan akbar dimulai.
*****
Selang sejam kemudian pertandingan dimulai, Dewa Kipas dan Irene menari-nari dalam papan catur. Mereka bertanding tidak menggunakan otot dan fisik, tapi melalui kekuatan otak. Dua menit berjalan, mereka sama-sama imbang walau Irene lebih menguasai pertandingan dengan bermain menyerang, sedang Dewa Kipas asyik bertahan.
Lima menit kemudian, hasil mulai tampak karena Dewa Kipas melakukan blunder yang menyebabkan Irene memenangi ronde pertama. Banyak warganet menyayangkan kekalahan Dewa Kipas, seharusnya di pertandingan pertama ini dia menunjukkan taringnya agar bisa menang.
Selanjutnya, di ronde kedua banyak yang berharap kemenangan ada di tangan Dewa Kipas, namun sayang. Dia kembali kalah telak pada ronde kedua dan ketiga. Kemenangan 3-0 berada di tangan Irene, sedang Dewa Kipas harus mengakui kekuatannya.
Terlepas dari itu semua, bagiku tak penting siapa yang menang dan kalah. Toh mereka sama-sama mendapatkan uang yang nilainya cukup tinggi. Andaikan aku yang bertanding, meski tak bertahan sampai 3 menit dan buta akan langkah pion, aku tetap senang karena mendapat nominal uang seratus atau dua ratus juta rupiah.
Angka itu mungkin cukup penting untuk menggerakkan kembali roda ekonomiku yang sedang macet akibat pandemi COVID 19. Bisnisku hancur total, 3 karyawan yang kumiliki juga sudah mengundurkan diri karena tiga bulan tak kugaji.
"Ah senangnya jika aku mendapatkan rezeki senilai ratusan juta rupiah."
Selain untuk menggerakkan roda ekonomi, uang itu juga berguna untuk membeli rumah sederhana yang layak huni bagi keluarga kecil sepertiku. Sudah dua bulan lamanya aku tinggal di rumah kosong milik teman baikku sewaktu SMA. Dia adalah seorang juragan sapi yang kaya raya dan memiliki banyak rumah kosong untuk disewakan.
Beruntung aku dipinjami salah satu rumahnya tanpa harus membayar uang sepeser pun. Rumah yang kuhuni telah disita bank lantaran hutang-hutangku yang terus menumpuk dan tak dapat terlunasi dengan baik. Meski mendapat belas kasih dari kawan, aku tak sampai hati jika harus menumpang di rumahnya dalam waktu lama, apalagi dia tak mau dibayar walau hanya seribu rupaih.
Baginya aku adalah saudara kandung dan sahabat baik, sehingga tidak ada kata "tidak" dalam urusan tolong-menolong, apalagi di saat genting seperti ini. Biarlah Tuhan yang mencatat seluruh amal baiknya, sehingga ia menjadi salah satu penghuni surga.
Aku benar-benar sedang membutuhkan uang itu. Seandainya waktu itu aku membuat hal-hal antimainstream di dunia maya dalam hal percaturan, pasti akulah yang akan mendapatkan uang itu. Entah berapa pun jumlahnya, aku akan menerima dan akan kuciumi tangan besar Om Ded dengan linangan air mata.
Sayang, aku tak seberuntung itu. Jangankan mencium tangan Om Ded dan diberi hadiah ratusan juta rupiah, ia saja tak mengenalku yang fakir ini. Hanya keajaiban yang bisa membuatku menginjakkan kaki di podcast close the door miliknya, kemudian dengan suara khasnya dia berseru:
"5...4...3...2...1 close the door! Kali ini kita kedatangan tamu spesial, seorang pengusaha muda yang pernah bangkrut di kala pandemi COVID 19, kemudian dengan semangat tinggi dia bangkit dan berhasil kembali menjadi pengusaha sukses. Dia adalah..."
Ah, mimpi macam apa itu? Mimpi siang bolong yang tak mungkin terjadi. Bagiku uang adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Meski banyak yang berkata bahwa uang tak bisa membeli kebahagiaan, tapi kebahagiaan membutuhkan uang. Hal itu merupakan hukum alam yang tak terbantahkan oleh logika orang-orang modern saat ini.
Sesaat lamunanku buyar oleh curahan hati istri.
"Mas, besok kita akan makan apa?"
Sebuah pertanyaan ringan, namun sulit kujawab di saat ekonomiku sedang kacau. Aku berpikir sambil mengusap peluh yang jatuh di pipi kanan. Secara perlahan aku mencoba merangkai kata demi kata agar tak salah ucap. Hal ini kulakukan demi meyakinkan sekaligus menyelamatkan rumah tanggaku yang telah berada diujung tanduk.
"Nanti... Aku cari pinjaman dari teman-temanku."
"Pinjaman? Hutang kita sudah menumpuk banyak mas!"
Aku tercekat, tak bisa membantah sanggahan istriku. Lengkingan suaranya telah menghujam hatiku dengan sebilah pisau tajam. Aku diam, perlahan dia mencocorku dengan sejuta hal, berharap agar mendapat uang dengan cara layak.
"Kamu harusnya kerja mas... Jangan cuma ngeluh sama keadaan. Jadi karyawan toko atau apalah, yang penting halal. Tiap hari kok kerjaannya cuma pegang HP sambil tiduran. Ingat mas, dulu kamu pernah kaya! Kamu berikan aku dan anak-anak rumah melimpah juga segala pernak-pernik kehidupan mewah..."
"Itu dulu sebelum pandemi..." Ujarku memotong pembicaraan.
"Ya kamu harus bangkit mas, kasihan anak-anak kita. Uang SPP mereka nunggak tiga bulan!"
Aku masih diam, kembali merangkai kata dengan hati-hati agar bisa meredakan luapan amarah istriku yang semakin lama semakin tak terkondisikan.
"Aku lelah sama kamu mas... Mungkin sudah saatnya kita akhiri perjalanan cinta yang semakin kusut ini."
Belum sempat aku menjawab, istriku telah pergi. Entah akan pergi kemana dia, aku masih diam. Menatap layar HP, sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tak kukenal. Di sana bertuliskan:
"Mau kaya dan bosan miskin? Kami melayani jasa perdukunan ilmu ghaib. Dijamin, kaya mendadak tanpa keluar uang banyak. Segera hubungi kami hari ini juga (diskon 20%)."
Aku mengernyitkan dahi, masa pandemi memang merubah segalanya. Mulai dari kebiasaan baru hingga perdukunan konvensional berubah menjadi perdukunan online. Entah apa yang tersaji di sana, mungkin pesugihan, jin penglaris, babi ngepet atau beragam tuyul siap mengkayakan orang-orang pragmatis secara instant.
Bukannya aku terperdaya dengan label halal-haram atau syirik, bagiku masalah perdukunan dan hal ghaib adalah fenomena penipuan berkedok perdagangan irrasional. Aku berani berasumsi karena banyak temanku yang menjadi korban. Sialnya, mereka tak bisa menyelesaikan kasus itu ke ranah hukum karena hal-hal perdukunan masih ambigu dan bermasalah dari segi pembuktian.
Hal itu membuat kasus-kasus serupa terhenti di tengah jalan dan tak bisa dibawa ke ranah hukum. Akibatnya, penipuan atas nama perdukunan marak terjadi di mana-mana dan tersebar secara masif karena sulit terdeteksi oleh aparat negara.
Apa pun yang terjadi di masa pandemi bagiku hanyalah angin lalu, kecuali uang dan keluargaku. Sekali lagi aku hanya ingin uang, sebagaimana yang diberikan kepada Dewa Kipas dan Irene Sukandar. Sayang, saat itu yang bertanding bukanlah aku. Aku hanyalah penonton biasa, seorang pengangguran yang sedang bersiap ditinggal oleh istri dan anak-anakku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H