"Mas, besok kita akan makan apa?"
Sebuah pertanyaan ringan, namun sulit kujawab di saat ekonomiku sedang kacau. Aku berpikir sambil mengusap peluh yang jatuh di pipi kanan. Secara perlahan aku mencoba merangkai kata demi kata agar tak salah ucap. Hal ini kulakukan demi meyakinkan sekaligus menyelamatkan rumah tanggaku yang telah berada diujung tanduk.
"Nanti... Aku cari pinjaman dari teman-temanku."
"Pinjaman? Hutang kita sudah menumpuk banyak mas!"
Aku tercekat, tak bisa membantah sanggahan istriku. Lengkingan suaranya telah menghujam hatiku dengan sebilah pisau tajam. Aku diam, perlahan dia mencocorku dengan sejuta hal, berharap agar mendapat uang dengan cara layak.
"Kamu harusnya kerja mas... Jangan cuma ngeluh sama keadaan. Jadi karyawan toko atau apalah, yang penting halal. Tiap hari kok kerjaannya cuma pegang HP sambil tiduran. Ingat mas, dulu kamu pernah kaya! Kamu berikan aku dan anak-anak rumah melimpah juga segala pernak-pernik kehidupan mewah..."
"Itu dulu sebelum pandemi..." Ujarku memotong pembicaraan.
"Ya kamu harus bangkit mas, kasihan anak-anak kita. Uang SPP mereka nunggak tiga bulan!"
Aku masih diam, kembali merangkai kata dengan hati-hati agar bisa meredakan luapan amarah istriku yang semakin lama semakin tak terkondisikan.
"Aku lelah sama kamu mas... Mungkin sudah saatnya kita akhiri perjalanan cinta yang semakin kusut ini."
Belum sempat aku menjawab, istriku telah pergi. Entah akan pergi kemana dia, aku masih diam. Menatap layar HP, sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tak kukenal. Di sana bertuliskan: