Sampai kapan kita harus berada di rumah? Sampai kapan kita beribadah di rumah? Sampai kapan kita berada dalam kondisi yang tak menentu? Seluruh pertanyaan itu jelas-jelas tak bisa dijawab dengan jawaban ala-ala anak muda yang sedang nongkrong di angkringan.Â
Jika bisa dijawab, pun dengan perspektif yang sangat spekulatif, menimbulkan pertanyaan lanjutan dan bisa menjadikan debat kusir, tak terarah, dan tak berujung hingga dajjal datang ke bumi.
      Â
Di kala kebingungan melanda seluruh masyarakat, secara mendadak media massa dan media sosial mewacanakan adanya new normal. Suatu gagasan agar masyarakat bisa kembali bekerja dan beraktivitas sesuai dengan protokol kesehatan yang dihimbau oleh pemerintah. Dampaknya, pasar, mall, dan kantor-kantor akan di buka dengan ketentuan ketat agar keselamatan masyarakat tetap terjamin.
Wacana ini tentunya dipandang kontroversial, bisa menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Banyak para pihak dari kalangan masyarakat yang memandang, wacana new normal terlalu dini untuk dibahas saat kondisi dilanda pandemi. Apalagi korban terus-menerus bertambah, angka kematian semakin naik ke atas selama PSBB, bukankah ini terlalu riskan? Apalagi kenyataan di lapangan tak seideal yang diharapkan.
Sewaktu PSBB, masih banyak orang-orang berkeliaran tanpa menggunakan masker, melakukan kumpul-kumpul dalam jumlah banyak, jika new normal akan diterapkan bisa jadi korban positif dan korban kematian mengalami lonjakan secara signifikan. Bukankah itu juga akan memubazirkan upaya kita selama beberapa bulan guna memutus mata rantai covid 19 dengan cara berdiam diri di rumah?
Berbicara masalah ekonomi, tentunya merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, tetapi di kala pandemi masih belum teratasi dan masih memakan korban dalam jumlah banyak, new normal akan sangat beresiko karena nyawa menjadi taruhannya. Dalam hal ini, seakan nyawa dinomor duakan, sedangkan masalah ekonomi dinomor satukan.
Bukankah lebih tepat wacana stay at home diterapkan hingga saat ini, sembari menunggu angka kesembuhan lebih besar daripada angka kematian? Lalu pekerja harian masih diperkenankan bekerja sesuai dengan protokol kesehatan.
Selain itu, masyarakat secara aktif masih bisa menggalang dana dari para donatur untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal itu tentu lebih relevan diterapkan. Bila kondisi telah siap dan matang, new normal akan bisa terlaksana dengan mudah. Masyarakat akan lebih banyak yang mendukung daripada menolak.
*****
Sebuah opini koran harian beberapa hari lalu membuka pagiku dengan ditemani secangkir kopi. Aku yang dari tadi keasyikan membaca tak sadar, bahwa waktu telah menunjukkan pukul 07.30 WIB, dimana aku harus bersiap pergi mengantar istriku pergi ke pasar guna membeli kebutuhan sehari-hari. Motor butut yang kupanaskan semenjak tadi telah siap membawaku ke tempat bertemunya penjual dan pembeli.
Istriku yang dari tadi menungguiku menyeruput kopi, secara mendadak melipat wajahnya. Seolah ia sedang mengisyaratkan kekecewaan karena telah menunggu lama. Tanpa membuatnya kecewa untuk kedua kali, aku segera naik ke motor dan menyuruh istriku naik di belakangku.
Selama di perjalanan, aku hanya diam tak berani mengajak isteriku berbicara, apalagi bercanda karena tahu ia akan mengomel perihal aku yang keasyikan membaca koran di pagi hari. Bagaimana tak keasyikan, di kala gencarnya wacana new normal, ada salah seorang penulis koran yang saat ini lebih memilih PSBB dan stay at home dikala meski ekonomi semakin merosot. Â
Saat ini saja, banyak karyawan perusahaan yang di rumahkan. Itu lebih baik ketimbang di PHK tanpa pesangon. Jika ini terus berlanjut, akan ada berapa banyak orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Belum lagi, usaha kecilan-kecilan yang mendadak gulung tikar karena pelanggannya tak berani ke luar rumah untuk sekadar membeli makanan kecil maupun barang-barang lain.
Terbukti, warung makan kecil milik mbah Marto yang terletak di samping rumahku sekarang tak buka lagi. Pelanggannya nyaris menghilang, makanan yang setiap hari laris manis terjual, semenjak adanya PSBB tak laku sama sekali.Â
Hal ini tentunya merupakan pukulan telak bagi mbah Marto yang sudah tua dan tak sempat lagi memutar otak secara kreatif untuk banting setir ke usaha lain.
Akhirnya, beliau hanya mengharap bantuan akan datang kepadanya. Beruntung, aku tak senasib dengan mbah Marto. Aku merupakan pekerja kantoran yang setiap bulannya rutin digaji pemerintah, sehingga PSBB tak terlalu berpengaruh bagi kondisi keuanganku.
Motor yang kukendarai telah sampai di pasar. Lalu-lalang penjual dan pembeli begitu memadati tempat ini, hingga aku dan isteriku kesulitan menuju penjual yang menyediakan sayur-mayur.
Hari ini adalah hari pertama diberlakukannya new normal. Meski pemerintah menganjurkan untuk menggunakan masker, masih banyak orang-orang di sini yang tak menutup mulut dan hidung mereka meski dengan sehelai kain usang. Selain itu social distansing jelas tak mereka hiraukan, jangankan social distancing, bisa masuk pasar dengan mudah saja merupakan anugrah yang tak terkira dari Tuhan Yang Maha Esa.
Keterkejutanku tak berhenti hingga di situ, beberapa orang, entah pedagang atau pembeli sedang asyik makan dengan tangan kosong. Jangan tanya mereka sudah cuci tangan atau belum? Mereka tak akan peduli dengan hal itu. Bagi mereka yang penting perut kenyang, lapar pun hilang.
      Di jalan raya aneka mobil dan motor berplat nomor luar kota memadati jalan. Jangan tanya mereka pakai masker atau tidak? Boro-boro pakai masker, mereka saja banyak yang naik motor berboncengan. Bahkan di dalam mobil bisa berjejer dekat tanpa ada jarak sedikit pun.
      Beberapa orang tampak asyik nongkrong di pinggir jalan sambil menghisap sebatang rokok. Jangan tanya pakai masker tidak? Social distancing tidak? Cuci tangan atau tidak? Jelas-jelas mereka tak lagi menghiraukan itu.
      Aku bergidik, dalam hati berkata:
      "Welcome to new (tidak) normal."
      Inilah inti masalah dari new normal. Suatu pembahasan yang kubaca di pagi hari tadi dari koran usang terbitan beberapa hari lalu. New normal pada awalnya bermaksud untuk membuat tatanan normal baru di kala pandemi sedang menghantui,  namun masyarakat tak bisa bekerja sesuai protokol pemerintah. Selain itu, pemerintah juga tak bisa mengawasi secara ketat berkaitan dengan pelaksanaan di lapangan. Akhirnya, new normal yang tadinya merupakan agenda untuk menstabilkan ekenomi, justeru bisa menjadi pisau bermata dua.  Mestabilkan ekonomi sekaligus menumbalkan orang-orang menjadi korban covid 19.
      Lalu, akankah new normal berubah menjadi new (tidak) normal karena orang-orang berdamai dengan covid 19 secara berlebihan. Masker dibuang, hand sanitizer tak terpakai, cuci tangan tak lagi penting, social distancing dan fisikal distancing hanya akan menjadi kenangan. Sementara di sisi lain korban terus jatuh bergelimpangan.
      Untuk kedua kali aku bergidik, karena sesungguhnya aku juga tak mengindahkan protokol. Tak bermasker, berboncengan meski dengan istri, dan baru saja aku makan gorengan tanpa cuci tangan.
      "Ah inikah yang disebut new normal? Kondisi normal yang diada-adakan ataukah kondisi tidak normal yang dipaksa menjadi normal? Hingga aku tak sadar ke luar rumah tanpa mengindahkan protokol kesehatan setelah sekian lamanya berada di rumah."
      Tiba-tiba terdengar suara,
      "Hatchi!"
      Kali ini istriku yang bergidik ngeri melihat orang di sampingku bersin tanpa menutup mulut, sedangkan air liurnya menyembur ke mana-mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H